Kamis, 16 Februari 2012

DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI,MEDEBEWIND DAN KESEIMBANGANNYA (Buku Hasil Penelitian)




Keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, asasdekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah suatu kondisi yang dicita-citakan oleh setiap penyelenggara pemerintahan daerah di Indonesia. Pengalaman 64 tahun melaksanakan desentralisasi, dimulai sejak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 sudah diberlakukan desentralisasi walaupun intensitasnya sangat kecil sekali. Setiap penggantian Undang-undang tentang Pemerintah Daerah yang sudah berganti sebanyak tujuh kali, terdapat model pelaksanaan pemerintahan daerah yang pada hakekatnya adalah tarik ulur antara locus kekuasaan berada di pusat dengan titik berat pada pelaksanaan asas sentralisasi ataukah kekuasaan berada di daerah dengan mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Banyak pakar berpendapat bahwa masalah keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi merupakan masalah yang sulit dan kompleks karena selalu dipengaruhi oleh model penyelenggaraan urusan pemerintahan secara nasional dan kepentingan politik serta sosial ekonomi masyarakat. Masalah keseimbangan pelaksanaan ketiga asas tersebut menimbulkan dampak pada tumpang tindihnya pelaksanaan urusan yaitu antara satu sektor dengan sektor lain, antara perangkat pusat dengan perangkat daerah. Secara teoritis maupun empiris penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak lagi dilaksanakan secara desentralisasi atau sentralisasi semata, melainkan mengkombinasikan antara asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penelitian tentang model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam rangka hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Jika ada itupun hanya mengkaji tentang sistem pembagian fungsi atau urusan serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi daerah. Namun pengkajian secara khusus tentang keseimbangan pelaksanaan asas-asas pemerintahan di Indonesia sepanjang pengetahuan peneliti masih sangat langka.


Dengan pertimbangan tersebut pengkajian yang berjudul “Hubungan Antara Pusat dan Daerah (Studi Analisis Keseimbangan Pelaksanaan Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan serta Dampaknya terhadap Efektivitas dan Efisiensi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Provinsi Jawa Timur) diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kajian tentang pelaksanaan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai bagian dari kajian ilmu administrasi dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pengambil dan pelaksana kebijakan desentralisasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik interview mendalam dan studi dokumentasi dari data sekunder yang ada di kantor Sekretariat Provinsi, Sekretariat DPRD Provinsi dan Kantor Dinas dan Badan Provinsi di Jawa Timur. Di samping itu peneliti juga meminta pendapat dari ahli/pembimbing dalam melakukan validasi terhadap rancangan model yang peneliti kembangkan berdasarkan kajian teori tentang asas-asas penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian hubungan antara pusat dan daerah serta model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pada tahap akhir peneliti juga melakukan konfirmasi atas rancangan model melalui konsultasi dengan pembimbing dan hasilnya adalah model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan di tingkat provinsi sebagai implementasi hubungan antara pusat dan daerah. Beberapa pendekatan model keseimbangan antara lain: (1) kemandirian pelaksanaan urusan pemerintahan kemudian menjadi urusan bersama (concurrent powers) antara masing-masing tingkatan daerah otonom dan antara pusat dan daerah; (2) kesejajaran urusan, masing-masing urusan mempunyai fungsi dan peranan yang samasama penting; (3) proporsional urusan, bahwa kreativitas pengembangan pelaksanaan urusan terbatas pada kewenangan yang diberikan dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Beberapa implikasi teori dimana diperlukan menyempurnakan pelaksanaan asas desentralisasi, bersamaan dengan pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang berlaku sekarang. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diperbaiki dengan penerapan model pembagian urusan campuran (hybrid) melalui pendekatan kegunaan dan kesesuaian dengan aspirasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan agar terdapat keseimbangan yang optimal untuk melahirkan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Selanjutnya diperlukan adanya dorongan kemandirian daerah untuk membiayai segenap urusan pemerintahan serta otonomi partai politik di daerah, agar kebijakan daerah tidak lagi ditentukan oleh pusat semata. Namun masyarakat di daerah yang mempunyai otoritas dalam menyelenggarakan urusan dan keputusan sendiri.


  • Tentang Buku : Buku Ini berisi : 144 halaman, edisi cetakan lux, dilengkapi dengan lampiran Peraturan Pemerintah  No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota.
    Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan di Provinsi Jawa Timur yang dapat digunakan sebagai literatur wajib bagi para mahasiswa dan kalangan umum dalam memahami hubungan pusat dan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

    Untuk mendapatkan buku ini Anda dapat menghubungi Telpon : (031) 567 7577 psw. 143 atau melalui Email : bambangsupri55@gmail.com atau bambangsuprijadi_uwks@yahoo.co.id atau dapat langsung memesan dengan me-reply tulisan ini. 



Senin, 13 Februari 2012








MENUJU KOMUNITAS ASEAN 2011
(KOMUNITAS KEAMANAN ASEAN 2015)
(Proceeding)

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang didirikan melalui Deklarasi Bangkok pada 8 Agustus 1967, sesungguhnya memang sudah merupakan Komunitas Keamanan (Security Community), karena salah satu butir penting dari awal pembentukan ASEAN ialah memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Meskipun kerja sama ASEAN seperti termaktub dalarn Deklarasi Bangkok lebih ditujukan untuk mempercepat per­tumbuhan ekonomi, perkembangan sosial dan pembangun­an budaya di kawasan, adalah suatu kenyataan bahwa pem­bentukan ASEAN lebih didorong oleh motif politik. Antara lain memajukan perdamaian dan stabilitas kawasan melalui penghormatan mengikat atas keadilan dan aturan hukum dalam hubungan antar negara di kawasan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Piagam PBB). ASEAN berdiri tidak berapa lama setelah Indonesia menghentikan politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia. Hal ini yang menjadi fondasi bagi ASEAN agar berbagai persoalan diselesaikan secara damai dan tidak melalui perang. Selain soal "Peaceful settlement of disputes," adalah suatu kenyataan pula bahwa ASEAN didirikan untuk menciptakan rasa aman, terutama dari ancaman internal seperti pemberontakan bersenjata, khususnya dari unsur-­unsur komunis yang saat itu masih ada di beberapa negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina dan Malaysia. Namun ASEAN bukanlah suatu perhimpunan negara-negara anti komunis, terbukti dengan masuknya negara-negara yang kuat unsur komunisnya seperti Vietnam, Cambodia, dan Laos ke dalam ASEAN pada 1990-an.
Dalam membentuk sebuah Komunitas Keamanan ASEAN, dibutuhkan mekanisme formal maupun informal yang bisa berfungsi untuk mengurangi, mencegah dan mengelola konflik yang muncul. Untuk mewujudkannya, ASEAN harus meningkatkan kapabilitasnya dengan mem­perkuat mekanisme yang sudah ada atau jika perlu mem­bentuk suatu mekanisme baru yang sesuai dengan tuntutan saat ini dan masa depan. Oleh karenanya, paradigma keamanan nasional yang selama ini hanya ditekankan kepada aspek keutuhan teritorial dan persatuan nasional perlu diperhias hingga menyentuh aspek keamanan manusia (human security) sebagai komponen dasar masyarakat bangsa. Bab ini akan membahas tentang: sejarah munculnya konsep Komunitas Keamanan, apa yang dimaksud dengan Komunitas Keamanan dan berbagai bentuk serta tahapan Komunitas Keamanan; kemudian bagaimana peran Indonesia dalam evolusi kerja sama politik keamanan serta akan dibahas juga mengenai kerangka kerja Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC).

Kajian Teori Komunitas Keamanan
Mengikuti definisi yang diperkenalkan Karl Deutsch pada pertengahan 1950-an, suatu komunitas keamanan diartikan sebagai sekelompok rakyat yang terintegrasi pada satu titik di mana terdapat jaminan nyata bahwa para anggota komunitas tersebut tidak akan berperang satu sama lain secara fisik, melainkan akan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan cara lain. Deutsch mengobservasi ada dua bentuk komunitas keamanan, yaitu Amalgamated Security Community dan Pluralistic Security Community (PSC). Amalgamated Security Community ada ketika terjadi peng­gabungan dua atau lebih unit-unit yang tadinya independen ke dalam satu unit yang lebih besar, dengan satu tipe pemerintahan bersama setelah terjadinya amalgamasi, contohnya adalah Amerika Serikat. PSC sebagai alternatif, tetap mempertahankan independensi hukum dari pe­merintahan-pemerintahan yang terpisah. Negara-negara di dalam PSC memiliki kesesuaian mengenai nilai-nilai inti yang didorong dari institusi-institusi bersama, dan tanggung­jawab bersama untuk membangun identitas bersama dan loyalitas, suatu rasa "kekitaan" dan terintegrasi pada satu titik di mana mereka mempunyai dependable expectations of peaceful change. Dengan kata lain, suatu PSC terbentuk ketika negara-negara menjadi terintegrasi pada satu titik di mana mereka memiliki sense of community yang, pada gilirannya, menciptakan suatu jaminan bahwa mereka akan menyelesai­kan perbedaan-perbedaan mereka di luar perang. Singkat­nya, menurut Deutsch, negara-negara yang tergabung di dalam komunitas keamanan telah menciptakan bukan hanya suatu tatanan yang stabil (a stable order), melainkan, pada kenyataannya, suatu perdamaian yang stabil (a stable peace).
Fondasi-fondasi konseptual bagi terbentuknya ko­munitas keamanan terdiri atas tiga tataran. Pada tataran pertama, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat terbentuknya komunitas keamanan, yaitu terjadinya perubahan teknologi dan adanya ancaman dari luar, me­nyebabkan negara-negara membentuk aliansi dan muncul hasrat untuk mengurangi ketakutan bersama melalui koordinasi keamanan. Namun, berbeda dengan aliansi militer yang ditujukan untuk menghadapi ancaman dari luar, komunitas keamanan lebih ditujukan untuk meng­hadapi ancaman dari dalam komunitas itu sendiri dan tidak bertujuan membangun aliansi militer untuk menghadapi ancaman dari luar. Selain itu, perubahan demografi, ekonomi dan berkembangnya interpretasi baru mengenai realitas sosial menyebabkan negara-negara melirik arah yang diambil oleh masing-masing negara dan berupaya untuk meng­oordinasikan kebijakannya untuk mencapai keuntungan bersama. Pada tataran ini negara-negara sudah mulai me­ngesampingkan ancaman militer dan lebih memfokuskan diri pada kerja sama non-militer, seperti di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pada tataran pertama ini masih belum terbentuk rasa saling percaya.
Pada tataran kedua faktor-faktor kondusif untuk membangun rasa saling percaya dan identitas kolektif ­melalui interaksi langsung yang amat sering dalam berbagai pertemuan bersama, barulah terjadi pembelajaran sosial dan bangunan organisasi. Pada proses tersebut, dibutuhkan adanya kekuatan dan pengetahuan mengenai sesamanya. Kekuatan bukan dalam artian hard-power semata melainkan, lebih penting lagi, adalah soft-power. Paduan antara soft-power­ dan pengetahuan, mengenai sesama anggota komunitas, apa yang menjadi kepentingan bersama serta kepentingan diri masing-masing anggota komunitas, merupakan bagian dari proses pembelajaran sosial dan membangun fondasi organisasi.
Pada tataran ketiga kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menciptakan dependable expectations of peacefid change­ dibutuhkan sosialisasi pada tingkatan elit politik dan rakyat agar muncul rasa saling percaya yang pada gilirannya men­ciptakan identitas kolektif. Dengan demikian akan tercipta pula kebudayaan regional yang diterima bersama, misalnya tentang demokrasi, developmentalisme dan hak-hak asasi manusia. Dari sini akhirnya tercipta apa yang disebut sebagai dependable expectations of peaceful change. Suatu komunitas keamanan belum menjadi wujudnya yang utuh, atau ko­munitas keamanan yang aktual, jika sosialisasi dan interaksi sosial belum menyentuh masyarakat pada tataran bawah. Dengan kata lain, suatu perhimpunan atau asosiasi baru merupakan komunitas keamanan formal semata jika sosialisasi dan interaksi hanya terjadi pada tingkatan elite politik, atau lebih sempit lagi, pada tataran birokrasi pe­merintahan dan mereka yang bertanggung jawab pada persoalan keamanan.
Perbedaan pandangan mengenai apakah dan sejauh mana ASEAN telah menjelma menjadi suatu komunitas keamanan menurut Amitav Acharya, baik sendiri maupun bersama penulis lain, adalah satu dari sedikit pengamat hu­bungan internasional yang berupaya menganalisis ASEAN melalui pendekatan komunitas keamanan.  Namun, karena ia berupaya menjelaskan bahwa komunitas keamanan dapat saja terbentuk di antara negara-negara yang tidak menganut demokrasi liberal, suatu posisi yang amat berbeda dengan Deutsch dan kawan-kawan pada 1957. Amitav, dapat dikategorikan sebagai salah satu penganut neo-Deutschian atau orang yang tidak secara murni menerapkan berbagai premis yang diajukan oleh Karl Deutsch. Posisi Amitav tampaknya amat tepat. Jika tidak, adalah suatu hal yang mustahil untuk mengadopsi konsep komunitas keamanan bagi kawasan di luar Eropa Barat dan Amerika Utara yang negara-negaranya tidak menganut paham demokrasi liberal. Seperti kita ketahui bersama, salah satu pilar dari Uni Eropa adalah sekulerisme dan demokrasi liberal, dan ini tidak berlaku secara murni di dalam ASEAN, meskipun pada rancangan Piagam ASEAN juga sudah mulai bicara mengenai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia.
Merujuk pada hubungan sekelompok negara yang ditandai sikap saling percaya yang tinggi serta perasaan memiliki identitas bersama, maka konflik bersenjata antara negara-negara tersebut menjadi suatu hal yang tidak ter­bayangkan. Kehadiran community yang ditandai oleh ada­nya common identity dan we feeling sebagai hasil suatu proses interaksi menciptakan suatu non-war community atau ko­munitas keamanan. Negara-negara yang terkait dalam suatu komunitas keamanan memiliki "dependable expec­tations of peaceful change" atau dapat mengandalkan bahwa dalam berhubungan satu sama lain setiap perubahan akan berlangsung secara damai. Yang menjadi fokus perhatian pengamat hubungan internasional adalah Pluralistic Security Community (PSC), yaitu hubungan transnasional negara­negara berdaulat dalam satu kawasan di mana masyarakatnya senantiasa memelihara hubungan damai, atau "a transnational region comprised of sovereign states whose people maintain dependable expectations of peaceful change". PSC berbeda dari amalgamated security commu­nity, di mana para anggota bergabung dalam suatu ke­satuan dan menyerahkan kedaulatannya kepada entitas baru tersebut, misalnya dalam suatu negara federal atau konfederasi.
Semua pengamat setuju bahwa Eropa Barat yang ter­gabung dalam Uni Eropa merupakan suatu komunitas keamanan, meninggalkan sejarah konflik berabad-abad yang mencapai puncaknya dalam dua perang dunia di abad ke-20. Demikian juga halnya dengan wilayah Scandinavia, semua pengamat sepakat bahwa negara-negara yang pada abad-abad sebelumnya sering terlibat perang, sejak awal abad ke-20 berhasil menjadi non-war community. Eropa Barat secara keseluruhan telah menjelma menjadi suatu ko­munitas keamanan bukanlah dengan menciptakan struktur atau institusi keamanan bersama. Komunitas Keamanan di Eropa Barat tercipta melalui proses "desekuritisasi" dengan secara bertahap melakukan marjinalisasi terhadap masalah­-masalah keamanan serta menonjolkan isu-isu yang lain.
Kenyataan ini berbeda dari pandangan sebagian besar teore­tikus yang beranggapan bahwa komunitas keamanan hanya , dapat diraih dengan menciptakan struktur dan institusi ke­amanan bersama.
Bertolak dari definisi awal Deutsch yang kemudian dikembangkan oleh Michael Barnett dan Emmanuel Adler maka para pengamat ASEAN berdebat mengenai apakah ASEAN setelah empat puluh tahun telah menjelma dari suatu asosiasi minimalis menjadi suatu komunitas keamanan. Para "ASEANists" berpendapat bahwa ASEAN sudah men­jelma menjadi komunitas keamanan. Buktinya berbeda dengan wilayah penuh konflik di masa sebelumnya, sejak ASEAN berdiri tahun 1967 tidak ada lagi konflik terbuka antar negara-negara anggota meskipun perselisihan dan perbedaan kepentingan masih sering terjadi. Sulit dibayang­kan bahwa pertikaian akan pecah menjadi perang terbuka antar sesama anggota ASEAN, karena sejak tahun 1976 ASEAN telah mengembangkan regional code of conduct melalui Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Intinya setiap pertikaian harus diselesaikan secara damai dan penggunaan kekerasan atau ancaman menggunakan kekerasan sama sekali tidak dibenarkan. Salah seorang yang paling bersemangat mengatakan bahwa ASEAN sudah menjadi komunitas keamanan adalah Estrella D. Solidum. Pada 1974 Solidum telah menulis tesis yang diterbitkan dengan judul Towards a Southeast Asian Community yang ber­pendapat bahwa ASEAN sudah mulai menuju komunitas keamanan. Pada 2003 Solidum kembali menegaskan bahwa ASEAN telah menciptakan keamanan di Asia Tenggara sehingga ASEAN telah menjadi "full-fledged security com­munity".
Di lain pihak tidak sedikit pengamat yang skeptis dan sinis terhadap ASEAN. Masih banyaknya sengketa wilayah, pertikaian dan konflik kepentingan antar sesama anggota, belum adanya norma bersama yang dianut, lemahnya perasaan identitas bersama serta belum adanya mekanisme ASEAN yang handal dan teruji untuk menyelesaikan konflik, ditunjuk sebagai bukti bahwa sesungguhnya ASEAN masih jauh dari suatu bentuk komunitas keamanan. Apabila tidak pecah perang terbuka antar sesama anggota itu dikatakan sebagai sama sekali bukan karena keberadaan we feeling atau identitas bersama negara-negara ASEAN, tetapi mungkin disebabkan oleh berbagai faktor lain yang bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan "realist". Kaum realist misalnya akan beragumentasi bahwa perdamaian di kawasan ASEAN lebih disebabkan oleh berbagai faktor seperti de­terrence, kepentingan pembangunan dalam negeri masing­-masing yang mendorong sikap saling menahan diri, kehadiran ancaman bersama dari luar, keberadaan kekuatan ekstra-regional (khususnya Amerika Serikat) yang men­dorong terciptanya tatanan regional yang relatif damai dan sebagainya. Komunitas yang dibangun oleh ASEAN dianggap masih semu kalau tidak dapat dikatakan palsu. Sebagian besar pengamat ASEAN berada di antara dua pandangan ekstrem di atas.
Tahapan komunitas keamanan yang ditulis Adler dan Barnett, dalam upayanya memberikan perspektif teoretik mengenai security communitiies, menjelaskan berbagai pandangan mengenai mengapa terjadi ketiadaan perang (the absence of war) pada umumnya, dan khususnya per­damaian yang stabil. Bagi penganut realist atau neo-realist, asumsi dasar yang berlaku ialah struktur politik inter­nasional tergantung pada distribusi kekuasaan yang me­mpengaruhi hubungan antar para aktor, sesuatu lingkungan yang sangat asosial. Sebaliknya penganut konstruktivisme mengakui bahwa realitas internasional merupakan suatu konstruksi sosial yang didorong oleh pcngertian bersama, termasuk norma-norma, yang muncul dari interaksi sosial. Karena itu, para penganut konstruktivisme memandang bahwa para aktor internasional terikat dalam satu struktur yang normatif dan juga material (yakni yang berisi aturan-­aturan dan sumber-sumber), dan yang memungkinkan mereka, pada kondisi yang tepat, membangkitkan identitas dan norma-norma bersama yang terikat pada suatu per­damaian yang stabil.
ASEAN kini berada pada tahapan varian "loosely coupled pluralistic security community" yang dewasa, tahapan yang sebenarnya masih jauh dari "tightly coupled pluralistic security community". Pada PSC yang longgar, para anggota menghormati kaidah security community yang paling yang paling minimal tidak melakukan agresi atau melakukan ancaman terhadap sesama anggota. Sementara dalam PSC yang lebih ketat ada dua hal lagi yang harus dipenuhi. Pertama, para anggota mengembangkan "mutual aid" security, atau saling membantu dalam masalah keamanan dengan membentuk suatu sistem keamanan kolektif, dan kedua, ada aturan yang, mengikat para anggota sehingga negara anggota tidak lagi sepenuhnya berdaulat. Don Emmerson juga berpendapat bahwa ASEAN sudah menunjukkan keberadaan PSC yang tipis atau PSC deskriptif. Anggota ASEAN memiliki rasa  kebersamaan komunitas dan juga harapan atas keamanan, namun belum dapat secara pasti dikatakan bahwa perasaan komuntaslah yang menciptakan keamanan regional tersebut. PSC yang tebal (thick pluralistic commuuity) merupa­kan keadaan ketika dapat ditunjukkan secara meyakinkan adanya kausalitas bahwa keberadaan community dan security. Di lain pihak pengalaman ASEAN juga me­minjukkan bahwa hubungan antara community dan security tidaklah linear seperti dikemukakan oleh Deutsch dan pengikutnya, tetapi justru merupakan hubungan timbal balik. Terciptanya kawasan yang stabil dan damai juga memungkinkan terjalinnya hubungan kerja sama antar negara dan bangsa yang semakin erat di lingkungan ASEAN, yang pada gilirannya dapat melahirkan identitas bersama dan perasaan we feeling yang merupakan wujud community.

Evolusi Kerja sama Politik Keamanan: Peranan Indonesia
Terlepas dari perdebatan di kalangan akademis mengenai apakah ASEAN sudah menjadi komunitas keamanan atau belum dan seberapa tebal atau tipis masyarakat keamanan yang telah terbentuk tersebut, para pembuat kebijakan ASEAN justru baru mengusulkan pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC) untuk pertama kali pada 2003 untuk diwujudkan pada 2020, dan kemudian dipercepat menjadi tahun 2015. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa dalam pandangan para pembuat kebijakan ASEAN sendiri, sesungguhnya ASC itu belumlah terbentuk, dan diperkirakan akan memakan waktu selama lebih satu dekade sejak usul dibuat untuk direalisasi, apabila setiap rencana aksi diimplementasikan secara konsisten. Pimpinan ASEAN-tampaknya mulai tanggap terhadap berbagai kritik yang timbul atas lemahnya sistem dan aturan yang mengikat ASEAN yang dinilai menghambat kinerja optimal organisasi regional ini. Ketidakberdayaan ASEAN dalam merespons berbagai krisis yang timbul di kawasan ini di akhir tahun 1990-an, khusus­nya yang menimpa beberapa anggota kunci ASEAN, juga mendorong lahirnya pemikiran, yang lebih radikal mengenai arah ASEAN ke depan. Apakah ASEAN akan mempertahan­kan status quo sebagai asosiasi regional yang minimalis, yang berpijak pada prinsip kedaulatan dan non-intervensi absolut, dengan resiko ini mengalami marjinalisasi dan semakin berkurangnya relevansi ASEAN dalam kehidupan  para anggotanya, atau ASEAN harus melakukan reformasi dan mengubah paradigmannya, antara lain dengan melangkah lebih jauh dari pendekatan ASEAN Way yang sebelumnya diagungkan.   
Mesikipun pembentukan ASEAN memiliki tujuan akhir politik dan keamanan, yakni terciptanya hubungan harmonis antara negara-negara anggota sehingga dapat melahirkan kawasan yang aman dan stabil, pada awalnya ASEAN secara sengaja menghindari kerja sama di bidang politik dan keamanan yang dinilai terlalu sensitif. Perbedaan sistem politik dan orientasi kebijakan pertahanan negara­nya itu sendiri ASEAN, meskipun mereka sama-sama anti komunis, serta masih rendahnya sikap saling percaya antara mereka yang terpisah lama oleh pengalaman sejarah kolonial yang berbeda-beda, menyebabkan para pendiri ASEAN sangat berhati-hati mengenai apa yang bisa diterima bersama. ASEAN diciptakan sebagai asosiasi yang longgar untuk membangun rasa saling percaya melalui kerja sama di bidanh-bidang yang tidak terlalu sensitif seperti masalah ekonomi dan sosial-budaya. Sebagai asosiasi, ASEAN tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu organisasi regional yang mengikat, apalagi yang memiliki wewenang supranasional yang dapat mengurangi kedaulatan dan independensi dalam bertindak para anggotanya.
ASEAN pada awalnya tidak lebih dari suatu paguyuban regional yang fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan melalui prinsip hubungan bertetangga baik, antara lain dengan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing serta menghormati kedaulatan dan integritas wilayah sesama, sehingga setiap anggota dapat memfokuskan perhatian pada pembangunan dalam negeri masing-masing. Jelas sekali bahwa visi tentang integrasi regional, apalagi membangun suatu Komunitas ASEAN yang didasari suatu Piagam ASEAN yang mengikat dan harus dipatuhi setiap angora tidaklah terbayangkan, dan kalau terbayangkan pasti ditentang, pada awal berdiri­  nya ASEAN pada 1967.
Dalam situasi Perang Dingin, khususnva di tengah perang Vietnam yang masih berkecamuk dan kehadiran China sebagai kekuatan komunis yang ditakuti, negara-negara anti-komunis yang tergabung dalam ASEAN juga tidak ingin dicitrakan sebagai kaki-tangan Blok Barat. Sebagian anggota ASEAN merupakan sekutu negara-negara Barat, seperti Thailand dan Filipina yang menjadi anggota aliansi militer SEATO (Southeast Asian Treaty Organization) yang dipimpin Amerika Serikat, namun sebagian lagi, khususnya Indonesia, adalah anggota Gerakan Non-Blok. Tidaklah mengherankan bahwa ketika didirikan ASEAN menjauhi kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan pada tataran regional, karena hal itu tidak saja sangat sulit untuk dilakukan mengingat perbedaan yang ada, tetapi ASEAN tidak ingin dicitrakan sebagai pakta militer anti-komunis yang justru dapat mengundang ancaman dari kekuatan komunis waktu itu.
Dalam perjalanannya, ternyata pada awalnya kegiatan ASEAN yang lebih menonjol justru dalam bidang politik dan keamanan (bukan pertahanan) regional. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Free­dom and Neutrality) pada 1971 sebagai respons negara-negara ASEAN terhadap Doktrin Guam yang dicanangkan Amerika Serikat pada 1969, bahwa negara-negara di kawasan ini  harus lebih mandiri dalam bidang pertahanan, serta respon terhadap langkah normalisasi hubungan Amerika Serikat dan China yang mengejutkan beberapa sekutu Amerika Serikat di kawasan ini. Negara-negara ASEAN dituntut untuk tidak lagi terlalu menggantungkan diri pada per­lindungan kekuatan luar yang setiap saat kepentingannya bisa berubah tanpa terlalu memerhatikan kepentingan sekutu-sekutunya yang kecil.
Kemenangan kekuatan Komunis di Indochina secara keseluruhan dan mundurnya pasukan Amerika Serikat dari Vietnam pada 1975 mendorong lahirnya Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord I) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama para kepala pemerintahan ASEAN tahun 1976 yang memuat bidang-bidang kerja sama ter­masuk bidang politik. KTT I di Bali tersebut juga melahirkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) yang mengatur tentang penyelesaian konflik secara damai dan pelarangan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. TAC juga memuat provisi tentang penyelesaian konflik antara sesama anggota ASEAN melalui mekanisme High Council apabila disetujui oleh kedua pihak yang bertikai. TAC merupakan regional code of conduct yang selama ini dianggap paling berperan dalam meredam konflik antara sesama anggota dan menumbuhkan budaya hubungan damai. Invasi dan pendudukan yang dilakukan pasukan Vietnam terhadap Cambodia dari tahun 1979 sampai dengan 1991 juga mengedepankan peran ASEAN dalam bidang politik dan keamanan regional. ASEAN memainkan peran yang sangat aktif dalam mengakhiri konflik di Cam­bodia, terutama melalui kegiatan diplomatik di PBB. Indo­nesia juga sangat berperan dalam negosiasi damai yang mengakhiri pendudukan Vietnam di Cambodia melalui serangkaian pertemuan informal (cocktail parties, Jakarta Informal Meetings) di Indonesia antara pihak-pihak yang bertikai, dan peranan Indonesia sebagai "CO-Chairs" bersama Perancis dalam perundingan damai di Paris pada 1991.
Setelah Perang Dingin berakhir kerja sama ASEAN dalam bidang politik-keamanan semakin meningkat dengan mengembangkan sayap ke wilayah Asia Pasifik yang lebih luas. ASEAN mengeluarkan Deklarasi Bersama tentang Laut Cina Selatan pada 1992 yang menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa wilayah tersebut sebagai respon atas aktivitas China yang mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Pada tahun 1994 ASEAN mem­prakarsai pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) pertama di Bangkok, yang merupakan forum dialog keamanan multilateral pertama dan satu-satunya di Asia Pasifik. ARF ditujukan untuk memajukan rasa saling percaya atau Confir­dence Building Measures (CBM), Preventive Diplomacy dan apabila memungkinkan untuk menyelesaikan konflik (con­flict resolution). Pada tahun 1995 negara-negara ASEAN menyepakati, ASEAN menjadi kawasan bebas dari senjata nuklir dengan menandatangani Traktat Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANTWFZ) yang mulai berlaku sejak 1997.
Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia cukup ber­peran dalam meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam bidang politik dan keamanan ASEAN. Dari semula Indonesia menginginkan suatu tatanan regional yang mandiri, yang bebas dari campur tangan kekuatan asing. Ketika ASEAN didirikan Indonesia merupakan satu-satunya anggota yang tidak terikat dalam aliansi pertahanan dengan pihak luar. Keinginan Indonesia ini tidak sepenuhnya didukung anggota lain yang masih menaruh curiga atas ambisi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan pernah melancarkan konfrontasi bersenjata terhadap Malaysia (termasuk Singapura). Deklarasi ZOPFAN dan mekanisme untuk menyelesaikan konflik dalam TAC yang mengedepan­kan peranan negara-negara kawasan sendiri mencerminkan sikap Indonesia yang menginginkan negara-negara ASEAN menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bali Concord I juga mcmuat pandangan Indonesia mengenai keamanan yang bersifat komprehensif (comprehensive security), di mana setiap bidang kait-mengkait untuk membangun Ketahanan Nasional.
Selama pemerintahan Orde Baru pembangunan dalam negeri Indonesia sangat menekankan pendekatan keamanan komprehensif tersebut dengan melakukan sekuritisasi ter­hadap hampir setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya sebagai strategi mewujudkan stabilitas dan keamanan. Meskipun didominasi kekuatan militer, pemerintah Orde Baru tidak mengedepankan organisasi militer atau pertahanan militer an sich sebagai strategi pertahanan dan keamanan, baik dalam menghadapi ancaman dari dalam maupun dari luar negeri. Doktrin yang dikembangkan Indonesia mengenai Ketahanan Nasional (National Resilience) dan Ketahanan Regional (Regional Re­silience) diadopsi di dalam Declaration of ASEAN Concord I. Pendekatan Keamanan ini, meskipun bersifat kompre­hensif, berorientasi pada pemeliharaan keamanan negara atau state security terutama dari ancaman internal, sehingga keamanan insani atau human security, apalagi yang berkaitan dengan hak asasi manusia menjadi problematis. Tidak jarang keamanan negara diraih dengan melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Hal ini juga terjadi di negara-negara ASEAN lainnya yang juga berada di bawah pemerintahan otoriter atau semi-otoriter.
Juga, merupakan kenyataan bahwa selama pemerintahan Orde Baru Indonesia merupakan negara yang tergolong konservatif dalam ASEAN apabila dikaitkan dengan kesediaan menyerahkan sebagian kewenangan terhadap institusi ASEAN. Indonesia sangat sensitif terhadap isu kedaulatan dan intervensi dari luar mengingat pengalaman sejarah seperti pemberontakan daerah yang didukung pihak luar, termasuk oleh sebagian negara yang kemudian tergabung dalam ASEAN. Prinsip musyawarah dan mufakat atau konsensus dalam mencapai keputusan juga merupakan bagian dari budaya politik Indonesia di bawah Orde Baru yang diadopsi ASEAN. Dengan kata lain, Indonesia mcrupa­kan tokoh kunci dalam kelanggengan ASEAN Way, yang di satu pihak telah membantu menciptakan hubungan antara anggota yang harmonis serta kawasan yang relatif aman dan stabil, dan di lain pihak menghambat ASEAN untuk me­langkah lebih cepat dan dinamis untuk mengatasi persoalan­persoalan regional. Dalam ASEAN Way ini fokus kegiatan adalah negara dan para pelaku kegiatan adalah para elit pe­merintahan yang cenderung eksklusif, didominasi oleh Departemen Luar Negeri masing-masing anggota.
Melihat kenyataan di atas adalah menarik dan mungkin tidak terlalu mengherankan bahwa Indonesia berada di garda terdepan dalam memajukan konsep ASC. Yang menarik perhatian adalah beberapa usul dalam konsep ASC yang mulai meninggalkan sebagian dari prinsip-prinsip baku dalam ASEAN yang dulu dipegang erat Indonesia, misalnya negara sebagai fokus utama kerja sama, prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri dan kerja sama per­tahanan di luar wadah ASEAN. Indonesia ingin mendorong kerja sama politik dan keamanan di lingkungan ASEAN vang tidak hanya terfokus pada upaya membangun hubungan damai antar-negara tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri antara lain dengan memajukan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Artinya Indonesia ingin menciptakan ASC yang tidak saja state-oriented tetapi juga people-orierited, dan tidak hanya mengedepankan hubungan damai antar-negara ASEAN tetapi juga hubungan damai di dalam negeri masing-masing seperti definisi komunitas keamanan yang ditulis Laurie Nathan di atas. Melalui ASC institusi regional ini juga diharapkan dapat lebih berperan aktif dalam memelihara perdamaian regional dan menyelesaikan konflik melalui mekanisme regional sendiri. Hal ini akan diulas secara lebih rinci di bagian berikutnya.
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia mengambil prakarsa mengusulkan konsep ASC dengan definisi yang lebih luas tersebut, meliputi hubungan internasional serta situasi keamanan di dalam negeri masing-masing anggota.
Pertama, sejak terjadi reformasi politik pada 1998 yang mengantarkan Indonesia menjadi negara demokrasi, de­mokrasi dan hak asasi manusia menjadi isu sentral dalam kehidupan nasional Indonesia yang turut memengaruhi kebijakan luar negeri. Demokratisasi juga memperluas aktor yang turut memengaruhi perumusan kebijakan luar negeri Indonesia sebagai kelompok penekan, misalnya semakin meningkatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga swadaya masyarakat, media dan kalangan akademisi. Di antara isu yang diangkat oleh para kelompok penekan tersebut adalah ketidakpuasan terhadap kinerja ASEAN yang terlalu state-oriented atau berorientasi pada negara dan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat luas serta kurang peduli pada hak-hak sipil dan politik masyarakatnya. Kedua, pengalaman Indonesia menghadapi kekerasan di Timor Timur pada 1999 dan ketidakmampuan negara-negara ASEAN untuk mengambil peran utama dalam memulihkan keamanan sehingga pasukan inter­nasional didominasi tentara Australia, yang menimbulkan kemarahan kelompok nasionalis Indonesia, memunculkan ide di Jakarta agar ke depan ASEAN bisa lebih berperan dalam memelihara perdamaian regional secara aktif. Ketiga, dalam rangka mengisi rencana Komunitas ASEAN yang akan disepakati di KTT ASEAN di Bali pada 2003, Indonesia perlu mengusulkan inisiatif yang dapat mengembalikan kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang redup setelah didera krisis multidimensional sejak 1997. Keempat, Indo­nesia berpendapat bahwa setelah ASEAN Free Trade Area mulai diimplementasikan dan usul Singapura tentang Komunitas Ekonomi ASEAN disetujui, kerja sama ASEAN terlalu didominasi isu-isu ekonomi sementara kerja sama politik-keamanan, khususnya yang membenahi hubungan intra-ASEAN, kurang mendapat perhatian. Konsep ASC diajukan Indonesia sebagai payung kerja sama politik-ke­amanan untuk mewujudkan visi Komunitas ASEAN. Harus diakui bahwa dalam ASEAN selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian terhadap masalah politik-keamanan daripada masalah ekonomi karena Indonesia cenderung nicrasa kalah bersaing di bidang ekonomi dengan negara-­negara ASEAN lainnya.
Komunitas Keamanan ASEAN 2003 dan Vientiane Action Program 2004
Pada KTT ke-9 ASEAN di Bali pada Oktober 2003, para pemimpin ASEAN dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga pilar, yaitu kerja sama politik dan keamanan, kerja sama ekonomi dan kerja sama sosial budaya. Kerangka ASC meliputi 12 poin.
Kalau dicermati, kerangka ASC sesungguhnya tidak beranjak jauh dari apa yang sudah dimiliki clan dipraktikkan ASEAN selama ini. Prinsip-prinsip mengenai kedaulatan negara, non-intervensi,pembuatan kcputusan melalui konsensus, dan penyelesaian konflik secara damai dan tetap menjadi ciri utama ASC. ASC juga menegaskan kembali komitmen terhadap semua instrumen politik ASEAN yang sudah ada. Di samping itu ASC juga menolak pakta militer dan lebih mengedepankan pendekatan keamanan yang komprehensif.
Perbedaan ASC dari kerja sama politik sebelumnya adalah keinginan untuk memperkuat kapasitas ASEAN dalam rangka mencegah dan menyelesaikan konflik dan kekacauan di lingkungan ASEAN sendiri, sesuatu yang belum pernah diajukan sebelumnya. Kerja sama maritim di tingkat regional, tidak saja secara bilateral atau trilateral juga merupakan inisiatif baru. Bali Concord II juga mengusulkan peningkatan kerja sama di bidang pertahanan secara lebih luas, hal yang sebelumnya selalu dihindari.
Perlu diketahui bahwa draft yang diusulkan Indonesia sebenarnya mengandung lebih banyak ide orisinal yang cukup radikal. Meskipun tetap mendukung prinsip non­interferensi dalam urusan domestik masing-masing negara anggota, Indonesia menginginkan prinsip ini diterapkan secara lebih fleksibel agar negara anggota lebih terbuka ter­hadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila ada masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis kemanusiaan. Indonesia juga mengusulkan agar ASEAN memajukan demokrasi serta memerhatikan perlindungan HAM, antara lain dengan mendirikan mekanisme regional perlindungan HAM. Ide orisinal lainnya adalah pem­bentukan pasukan perdamaian regional sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif dalam pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Kemampuan seperti ini diperlukan apabila ASEAN ingin berperan dalam pemeliharaan perdamaian regional seperti yang dimaksud dalam Bab VIII Piagam PBB. Indonesia juga mengusulkan diadakannya ASEAN Extradition Treaty.
Namun dalam pertemuan di Bali usul-usul Indonesia tersebut ditentang oleh sebagian negara anggota lainnya yang menilai usul Indonesia telah melangkah terlalu jauh. Tidak ada anggota ASEAN lain yang secara eksplisit menentang usul Indonesia untuk memasukkan demokratisasi dan perlindungan atas HAM, meskipun beberapa anggota, tidak hanya Myanmar, merasa kurang nyaman dengan usul­usul Indonesia tersebut. Fokus kritik tertuju pada usul pembentukan pasukan perdamaian ASEAN yang dapat digelar di negara-negara anggota ASEAN apabila diperlukan. Meskipun Indonesia sendiri telah mengundang rnisi perdamaian dari negara-negara ASEAN, baik untuk turut mengatasi kekacauan di Timor Timur setelah dilakukan jajak pendapat bulan Agustus 1999 maupun untuk mengimple­mentasikan hasil Perdamaian Helsinki di Aceh, sebagian besar negara ASEAN menganggap ide pembentukan pasukan perdamaian ASEAN terlalu prematur. Pertanvaan berkisar seputar masalah-masalah teknis tentang besar kekuatan, pendanaan, sistem komando dan lain-lain, namun dapat diperkirakan bahwa masalah utama adalah masih adanya kekhawatiran tentang kemungkinan intervensi dalam masalah domestik oleh pasukan perdamaian ASEAN yang mungkin akan didominasi oleh anggota yang lebih besar. Usul pembentukan pasukan perdamaian ASEAN tidak menjadi bagian dari ASC. Kerangka ASC yang akhir­nya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara tentang komitmen memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tidak kelihatan adanya pergeseran kerja sama politik dan keamanan ASEAN dari state-oriented menjadi lebih people-oriented.
Namun apabila membaca Bali Concord II secara lebih teliti akan terlihat adanya sedikit pergeseran paradigma dari orientasi yang sepenuhnya terfokus pada keamanan negara dan hubungan antar-negara menuju keamanan yang lebih memperhatikan pembangunan politik yang lebih demo­kratis, meskipun masih sangat samar-samar. Ball Coizcord II juga mendorong agar negara-negara ASEAN menjadi lebih terbuka pada kritik-kritik dari sesama anggota.
Dalam Butir 4 Deklarasi dinyatakan bahwa "ASEAN akan menumbuhkan nilai – nilai bersama, misalnya kebiasaan untuk berkonsultasi membicarakan isu-isu politik dan kesediaan untuk membagi informasi mengenai masalah yang menjadi perhatian bersama, seperti masalah perusakan lingkungan hidup, kerja sama maritim, peningkatan kerja sama pertahan­an antar-sesama negara ASEAN, membangun seperangkat nilai – nilai dan prinsip-prinsip sosial-politik, dan kemauan untuk menyelesaikan pertikaian yang telah berlarut-larut secara damai. Mengingat perbedaan sistem politik yang tajam di ASEAN, yang terbagi di antara negara-negara demokratis, semi-demokratis dan otoriter, dapat dipahami bahwa pengungkapan komitmen untuk memajukan demo­krasi dan perlindungan HAM secara terbuka seperti yang pada awalnya diusulkan Indonesia masih sulit diterima. Kata-kata yang dimiringkan oleh penulis secara halus dan implisit menyatakan bahwa ASEAN akan mengembangkan nilai-nilai bersama dan lebih terbuka membicarakan hal-­hal yang menyangkut kepentingan bersama dapat dikatakan sebagai kata sandi, bahwa masalah dalam negeri tidak lagi tabu untuk dibicarakan, dan bahwa ASEAN ingin mengembangkan nilai-nilai bersama tentang sistem sosial­ politik yang ideal. Butir 1 dari kerangka ASC juga memuat kata "democratic" dan "just' bahwa negeri-negeri di kawasan ini akan hidup secara damai-dalam lingkungan yang "adil, demokratis dan harmonious", meskipun Emmerson ber­komentar bahwa kata “harmonious” mungkin ditambahkan oleh negara-negara yang tidak menghendaki sistem demo­krasi yang kompetitif yang dapat menimbulkan disharmoni.
Rencana aksi ASC dikembangkan secara lebih detail dalam Vientiane Action Program (VAP) yang disetujui pada November 2004. VAP mengenai ABC berhasil mcnyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan pcrlindungan HAM secara lebih terbuka. VAP' juga mengakui peranan dialog Jalur Kedua (Track-Two) yang melibatkan aktor-aktor non-­pemerintah dalam mengembangkan Komunitas ASEAN serta mendorong keterlibatan kerja sama antar masyarakat ASEAN secara lebih luas, misalnya melalui ASEAN People's Assembly (APA).
Dalam "Goals mid Strategies towards Realising the ASEAN Community", tema dari ASC adalah "Enhancing peace, sta­bility, democracy and prosperity in the region through com­prehensive political and security cooperation". Di sini kata "demokrasi" sekali lagi dimunculkan secara terbuka. VAP memiliki lima “Strategic Thrusts” yaitu Political Development, Sharing and Shaping Norms, Conflict Prevention, Conflict Resolution, Pos-Conflict Peace – Building.  
Di bawah Political Development terdapat tujuh untuk mengembangkan ASC, antara lain, meningkatkan pengetahuan dan apresiasi mengenai sistem politik, budaya dan sejarah melalui peningkatan hubungan masyarakat dan kegiatan "track-two"; memajukan hak asasi manusia dan tanggung jawab manusia; membangun dukungan timbal balik antar sesama negara ASEAN untuk mengembangkan strategi penegakan supremasi hukum, sistem peradilan dan infrastruktur hukum dan membangun tata kelola pemerintah­an dan sektor swasta yang baik; mencegah korupsi. Meskipun masalah HAM dan supremasi hukum tidak disinggung di dalam Bali Concord II, strategi di bidang pembangunan politik berhasil menggolkan masalah penting ini di dalam VAP. Disebutnya APA dan kegiatan "track-two" juga me­nunjukkan pengaruh jaringan ASEAN-ISIS yang telah melaksanakan APA setiap tahun sejak tahun 2000, walaupun ­pada awalnya kurang mendapat dukungan yang memadai dari sebagian negara ASEAN. APA selama ini hanya didukung empat negara ASEAN, yakni Indonesia, Malay­sia, Filipina dan Thailand.
Di bawah "Shaping mid Sharing of Norms" dikatakan bahwa akan dibangun "common adherence to norms of good conduct in a democratic, tolerant, participatory and open community" dalam rangka memperkuat solidaritas, kohesivitas dan harmoni ASEAN (zve feelitig), suatu per­nyataan yang cukup tegas tentang keinginan untuk membangun sistem politik yang demokratis yang terbuka dan partisipatif sebagai salah satu syarat terbentuknya suatu security commurlity. Hanya agak aneh bahwa selain upaya menyusun Piagam ASEAN, strategi yang diusulkan sama sekali tidak berkaitan dengan pembangunan sistem politik yang dapat mendorong terciptanya demokrasi, tetapi lebih menekankan prinsip-prinsip kerja sama regional yang sudah baku seperti TAC, SEANWFZ dan kerja sama dalam bidang cowiter-terrorism.
Di bawah judul "Conflict Prevention" ada tujuh strategi yang akan ditempuh, antara lain meningkatkan pertukaran antara personil militer, meningkatkan transparansi dalam bidang kebijakan pertahanan, membangun sistem pe­ringatan dini ASEAN berdasarkan instrumen yang ada untuk mencegah terjadinya atau eskalasi konflik, mengatasi kejahatan transnasional melalui kerja sama regional, mem­buat "ASEAN Arms Register" dan mendorong kerja sama maritim. Strategi dalam rangka mencegah konflik ini me­negaskan kembali kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, misalnya kerja sama dalam mengatasi terorisme dan kejahatan transnasional, namun juga ada usul-usul baru seperti mendorong kerja sama maritim dan pemhuatan "ASEAN Arms Register".
Dalam bidang "Conflict Resolution", VAP belum sampai pada proposal yang eksplisit mengenai pembentukan suatu pasukan perdamaian ASEAN, namun jalan ke arah itu sudah muncul. Ada tiga strategi yang disepakati, yaitu menggunakan pusat pasukan perdamaian yang telah dan akan dibentuk secara nasional (existing and planned national peacekeeping centres) untuk membangun mekanisme regional guna memelihara perdamaian dan keamanan re­gional; apabila diperlukan memperkuat dan membangun mekanisme baru berdasarkan modrrs renvrlt-s,ii.1n konflik secara damai yang sudah adamelaksanakan penelitian bersama tentang manajemen dan resolusi konflik.
Strategi baru mewujudkan ASC banyak muncul di bawah judul “Post Conflict Peace Building”. Ada lima strategi yang disepakati untuk membangun perdamaian yang langgeng pada masa pasca-konflik sehingga mencegah terulangnya kembali konflik. Ketujuh strategi tersebut adalah: memperkuat bantuan kemanusiaan dengan cara menyediakan tempat berlindung (safe havens) di wilayah konflik; melaksanakan pembangunan sumber daya manusia dan program pembangunan kapasitas di wilayah yang menjalani resolusi pasca-konflik dan rehabilitasi; meng­upayakan terbentuknya pusat manajemen/bantuan krisis ASEAN; mengurangi ketegangan antar-komunal melalui pertukaran pendidikan dan pembaruan kurikulum; me­ningkatkan kerja sama dalam rekonsiliasi dan mempromosi­kan budaya damai.
Dalam bidang pembangunan damal pasca-konflik ini strategi yang dikembangkan secara eksplisit bertujuan menangani masalah konflik dalam negara sehingga security community yang hendak dikembangkan tidak hanya ber­kaitan dengan hubungan antar-negara. Manakala hubungan perang dan damai antar-negara lebih menonjolkan peranan negara, maka masalah konflik dan damai di dalam negeri terkait dengan hubungan antara negara dan masyarakat (hubungan vertikal) dan hubungan antar-masyarakat (hubungan horizontal). Dari seluruh strategi yang hendak dikembangkan dalam rangka mewujudkan ASC, maka yang secara terbuka mengembangkan kebijakan yang lebih "people-oriented" adalah strategi "Post-Conflict Peace Build­ing". Berikutnya adalah di bidang "Political Development" dan " Shaping and Sharing of Norms", meskipun di bidang yang terakhir ini strategi yang dikembangkan belum sepenuhnya mendukung sasaran yang hendak dicapai. Kelima Strate­gic Thrusts di atas dilengkapi dengan "Program Areas and Measures" yang cukup detail.
Pertanyaan yang muncul apakah ASC juga akan me­lahirkan kebijakan yang sama dalam bidang politik luar negeri dan keamanan atau Common Foreign and Security Policy (CFSP) seperti yang sudah diterapkan oleh Uni Eropa? Dilihat dari butir-butir kesepakatan dan rencana aksi ASC belum tampak ada niat untuk mengarah pada suatu CFSP. Hal ini tidak mengherankan, karena ketika masih berbentuk European Community negara-negara Eropa Barat juga belum memiliki suatu CFSP. CFSP baru disepakati setelah Euro­pean Community menjelma menjadi Uni Eropa pada awal tahun 1990-an, namun pelaksanaannya tetap menghadapi banyak masalah seperti terlihat dari perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara negara-negara anggota dalam menyikapi invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Uni Eropa juga belum berhasil membentuk kekuatan pertahanan bersama yang otonom dari pasukan NATO (North Atlantic Treaty Organitation) yang didominasi Amerika Serikat. Namun di lain pihak, negara-negara ASEAN selama ini sudah terbiasa mengoordinasikan kebijakan luar negeri mereka dalam menghadapi pihak ketiga, seperti terlihat dalam ke­berhasilan ASEAN dalam memperjuangkan masalah Cam­bodia di tingkat PBB dan dalam mendorong China untuk menyepakati pengelolaan konflik Laut China Selatan secara damai. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang terlalu sulit apabila suatu ketika Komunitas Asia Tenggara (South East Asian Community-SEAC) memiliki Common Foreign Policy. Kesulitan yang lebih besar tetap akan ditemui dalam bidang Common Security Policy, terutama yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan peranan militer umum­nya. Sebagian negara anggota ASEAN atau mungkin nanti­nva berubah nama menjadi SEAC terikat dalam aliansi militer dengan pihak luar, sementara sebagian lagi menganut kebijakan non-blok. Apabila terjadi lagi suatu krisis seperti perang Irak yang baru lalu yang melibatkan Amerika Serikat maka dapat diduga bahwa sekutunya di Asia Tenggara akan berada pada posisi yang mungkin harus mendukung Washington, sementara negara-negara yang non-blok seperti Indonesia bisa lebih leluasa menentukan sikap sesuai dengan tuntutan domestik dan situasi inter­nasional. Untuk sementara waktu, Common Security Policy lebih mungkin untuk diterapkan dalam bidang keamanan non-tradisional daripada dalam bidang keamanan konven­sional.

Penutup
Konsep ASC sebagai salah satu tonggak Komunitas ASEAN berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja dimaksudkan untuk membangun budaya hubungan damai di antara negara-negara ASEAN tetapi juga mendorong terciptanya situasi yang stabil dan damai di dalam negeri masing-masing. Hal ini sesuai dengan definisi komunitas keamanan yang sesungguhnya, di mana tidak boleh ada konflik atau kekerasan, baik dalam hubungan antar-negara maupun di dalam negeri para anggota yang terikat dalam suatu komunitas keamanan. Sistem demokrasi dengan komitmen perlindungan terhadap HAM dianggap sebagai norma dan prinsip yang paling ampuh untuk menciptakan "dependable expectations of peaceful change" di dalam negeri, sementara integrasi dan penciptaan we feeling antara negara-negara berdaulat dapat mendorong terwujudnya suatu pluralistic security community yang sepenuhnya telah meninggalkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
Upaya Indonesia untuk mendorong diterimanya de­mokrasi dan penghormatan terhadap HAM belum sepenuhnya diterima di dalam kerangka ASC yang di­sepakati di Bali pada 2003, namun dalam VAP sebagian usul awal Indonesia yang semula ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP juga menyetujui berbagai strategi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat luas di dalam kegiatan ASEAN sehingga kesan ASEAN sebagai organisasi elitis dapat dikurangi. Yang juga penting untuk dicatat adalah kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim, yang merupakan perubahan sikap ASEAN tentang kerja sama multilateral di bidang ini. Meskipun kihwa ASEAN tidak bermaksud untuk membangun Per­tahanan, tampaknya ASEAN tidak lagi menabukan kerja., sama pertahanan di lingkup ASEAN. Rencana untuk melibatkan ASEAN dalam "Post-Conflict Peace Building" juga menunjukkan keinginan untuk melibatkan ASEAN secara lebih jauh dalam penyelesaian konflik, baik antar anggota maupun (dan ini mungkin akan lebih sering terjadi) dalam menangani konflik yang terjadi di dalam salah satu negara anggota.
Situasi terakhir di Myanmar di mana telah terjadi demonstrasi besar-besaran para Bhiksu di akhir September dan awal Oktober 2007 menentang rezim militer yang telah berkuasa dengan tangan besi sejak awal 1960-an merupakan ujian nyata bagi ASEAN, khususnya ideal ASC. ASEAN telah mulai melangkah cukup jauh dari ASEAN Way yang sama sekali menolak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri sesama anggota, karena dalam beberapa tahun terakhir ASEAN menyatakan tidak lagi akan melindungi Myanmar dari kecaman pihak ketiga karena pemimpin militer Myanmar dinilai telah menyulitkan posisi ASEAN dalam berhubungan dengan para Mitra Dialog. Dalam krisis terakhir, yang ditandai tindakan brutal militer terhadap para demonstran yang menyebabkan terbunuhnya beberapa demonstran ASEAN, melalui Ketuanya, Perdana Menteri Singapura, mengirim surat kepada pemimpin junta Myanmar yang secara terbuka mengecam tindakan represif tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam ASC tentang penghormatan terhadap HAM sudah mulai diterapkan oleh ASEAN. Indonesia yang menjabat sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Kcamanan PBB tahun 2007-2008 melakukan abstain ketika n merika Serikat dan Inggris mengajukan Resolusi mengutuk Myanmar, sementara RRC/China dan Rusia menentang Resolusi tersebut. Meskipun banyak pihak mengkritik In­donesia yang abstain dan tidak mendukung resolusi wengecam Myanmar, termasuk beberapa kalangan di dalam nrgcri Indonesia sendiri, sikap abstain Indonesia secara Clikup jelas menunjukkan bahwa Indonesia tidak bersedia 1nclindungi pemerintah Myanmar yang dinilai telah me­I,ikukan kejahatan kemanusiaan. Namun sebagai sesama negara ASEAN Indonesia masih menunjukkan solidaritas dan keinginan untuk tidak mengisolasi Viyanmar sehingga Indonesia tidak mendukung resolusi tersebut.
Penandatanganan Piagam ASEAN dalam KTT ke-13 ASEAN di Singapura pada 20 November 2007 merupakan tiuatu lompatan besar yang baru bagi ASEAN namun se­k;iligus juga mengecewakan banyak pihak. Dengan di tandatanganinya Piagam ASEAN, maka asosiasi regional yang dulu longgar ini akan memasuki babak baru sebagai organisasi regional yang memiliki landasan hukum yang lebih mengikat. Berkaitan dengan fokus kajian ini, apakah ASEAN telah bergeser dari "state-oriented" menuju "people­nricnted" dengan keberadaan Piagam ASEAN, jawabannya tidaklah terlalu jelas. Di satu pihak Piagam ASEAN ber­komitmen "untuk memperkuat demokrasi, memajukan pe­jnerintahan dan sistem hukum yang bersih, mempromosi­kan dan melindungi hak asasi manusia", yang memberikan landasan hukum yang kuat untuk kebijakan-kebijakan yang lebih pro-rakyat dan pro-keamanan insani. Piagam ASEAN juga mengangkat salah satu agenda ASC untuk membentuk komisi HAM regional sebagai alat penting untuk memaju­kan HAM di kawasan ini.
Di lain pihak, Piagam ASEAN juga secara eksplisit menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip "suci" ASEAN seperti tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, pembuatan kebijakan berdasarkan konsensus dan penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara anggota. Usul Eminent Persons Group (EPG) yang menyusun draft Piagam, agar pihak-pihak yang me­langgar nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ASEAN di­jatuhi sanksi, misalnya keanggotaannya dibekukan se­mentara, dikeluarkan dari kesepakatan akhir. Piagam hanya menyatakan bahwa dalam hal tidak ada konsensus, atau ada pelanggaran terhadap nilai-nilai ASEAN oleh salah satu anggota yang perlu disikapi, keputusan akhir diserahkan kepada para pemimpin tertinggi dalam KIT ASEAN. Dengan mengembalikan keputusan-keputusan genting kepada para pemimpin ASEAN, yang masing-masing nota bene memiliki hak veto, maka dapat diduga bahwa apabila terjadi konflik kepentingan antara suatu rezim pemerintahan dan masyarakatnya, maka kepentingan penguasa yang me­monopoli kebijakan tetap akan didahulukan. Meskipun Sekretariat Jenderal ASEAN akan diperkuat ASEAN juga akan tetap merupakan organisasi "intergovernmental" bukan "supranasional". Dengan demikian, meskipun setelah Piagam ASEAN diberlakukan dan Komunitas ASEAN diraih, ASEAN tetap tidak akan memiliki kekuatan su­pranasional yang relatif otonom, yang dapat mengeluarkan keputusan yang harus diikuti oleh setiap anggotanya. Tunduknya ASEAN pada kehendak Myanmar yang menolak presentasi utusan PBB untuk Myanmar, Ibrahim Gambari, dalam sidang ASEAN meskipun yang bersangkutan telah diundang khusu oleh tuan rumah untuk melakukan presentasi tersebut merupakan indikasi kesulitan yang sedang dan akan terus dihadapi ASEAN dalam merekomendasikan antara ideal dan realitas lapangan.



DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel
Acharya, Amitav and See Seng Tan, "Betwixt balance and community: America, ASEAN, and the security of Southeast Asia," International Relations, of the Asia­-Pacific, Vol. 5, 23 Agustus, 2005.
            , "Collective identity and conflict management in Southeast Asia," dalam Emmanuel Adler and Michael Barnett, Security Communities, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
            , The Association of Southeast Asian Nations: 'Security Community' or 'Defence Community'?, Pa­cific Affairs, Vol. 64, No. 2, Summer, 1991.
         , Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order London: Routledge, 2001.
            , Regionalism and Multilateralism: Essays on Coopera­tive Security in the Asia-Pacific Singapore: Times Me­dia Private Ltd., 2003.
Alatas, Ali,"Piagam ASEAN sebagai Landasan Hukum dan Norma Kerja sama ASEAN", Seminar Nasional Dalam rangka Hari ASEAN ke-39, Deplu, Jakarta, 2006.
"An ASEAN, of The People, by The People, for the People", Report of the First ASEAN People's Assembly, ASEAN­ISIS-CSIS, Batam, Indonesia, 24-26 November 2000
Anwar, Dewi Fortuna, "Kerja sama Politik dan Keamanan ASEAN", dalam C.P.F. Luhulima et.al., Seperempat Abad ASEAN, Sekretariat Nasional ASEAN, Departmen Luar Negeri RI, Jakarta, 1994.
ASEAN Security Community Plan of Action, I. Political De­velopment, Vientianne, 29 November 2004.
Deutsch, Karl, et.al., Political Community and the North At­lantic Area. International Organization in the Light of PoliticalExperience, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1957.
Djalal, Hasyim,"Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990", CSIS, Jakarta, 1990.
Emmerson, Donald K., "Security, Community, and Democ­racy in Southeast Asia: Analyzing ASEAN", Japanese Journal of Political Science. 6 (2).
Ferguson, R. James, "ASEAN Concord II: Policy Prospects for Participant Regional "Development", Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Stra­tegic Affairs, Vol. 26, no. 3, 2004.
Gusfield, J.R., The community: A critical Response, New York: Harper Colopon, 1975.
Keliat, Makmur,"Pembangunan Komunitas ASEAN", Kompas, 1 Desember 2004. Lihat juga, Emanuel Adler dan Michael Barnett, 1998.
Khoo, Nicholas, "Deconstructing the ASEAN security com­munity: a review essay," International Relations of the Asia Pacific, vol. 4, 2004.
Luhulima, C.P.F., Scope of ASEAN's Security Framework for the 21st Century, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
            , ASEAN Menuju Postur Baru, CSIS, Jakarta, 1997.
Marzali,Amri, Seminar Membangun Komunitas ASEAN yang berpusatkan pada Masyarakat, Deplu-RI, 10 Agustus 2006.
Morgenthau, Hans, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Fifth Edition, Revised, New York: Alfred A. Knopf, 1978.
Nathan, Laurie, "Domestic Instability and Security Com­munities", European Journal of International Relations, Vol. 12, No. 2. 2006.
Peou, Serpong, "Merit in security community studies," In­ternational Relations of the Asia-Pacific, vol. 5, 2005.
Perwita, Anak Agung Banyu, "ASEAN yang Lebih Me­rakyat", Kompas 26 Juli 2007.
Plummer, Michael G., "Creating an ASEAN Economic Community: Lessons from the EU and Reflections on the Roadmap", dalam Roadmap to ASEAN Economic Community, diedit oleh Denis Hew, Singapore: ISEAS, 2005.
Puchala, Donald J., International Politics Today, New York: Dodd, Mead, 1971.
Rifkin, Jeremy," The European Dream", Jeremy P Tarcher, New York, 2004.
Russett, Bruce, "A neo-Kantian perspective: democracy, interdependence and international, organizations in building security communities," dalam Adler and Barnett, Security Communities, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Sukma, Rizal, "The Future of ASEAN: Towards a Security Community". Paper presented at a seminar on "ASEAN Cooperation: Challenges and prospects in the Current International Situation", New York, 3 Juni 2003.

Surat Kabar:
Bali Post, 9 Oktober 2003.
Jakarta Post, 13 Januari 2007.
Jakarta Post, 17 Januari 2007.
Jakarta Post, 21 Februari 2007
Jakarta Post, 24 Agustus 2006.
Jakarta Post, 27 Agustus 2007.
Kompas, 26 Juli 2007.
Kompas, 10 Agustus 2007.
Kompas, 30 Agustus 2006
Kompas 25 November 2005.
Kompas, 9 Desember 2006. Straits Times, 5 Desember 2005.