Minggu, 26 Februari 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Kamis, 16 Februari 2012
DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI,MEDEBEWIND DAN KESEIMBANGANNYA (Buku Hasil Penelitian)
Keseimbangan pelaksanaan asas
desentralisasi, asasdekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah suatu kondisi
yang dicita-citakan oleh setiap penyelenggara pemerintahan daerah di Indonesia.
Pengalaman 64 tahun melaksanakan desentralisasi, dimulai sejak Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 sudah diberlakukan desentralisasi walaupun intensitasnya
sangat kecil sekali. Setiap penggantian Undang-undang tentang Pemerintah Daerah
yang sudah berganti sebanyak tujuh kali, terdapat model pelaksanaan
pemerintahan daerah yang pada hakekatnya adalah tarik ulur antara locus
kekuasaan berada di pusat dengan titik berat pada pelaksanaan asas sentralisasi
ataukah kekuasaan berada di daerah dengan mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi. Banyak pakar berpendapat bahwa masalah keseimbangan pelaksanaan
asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi merupakan masalah yang sulit dan
kompleks karena selalu dipengaruhi oleh model penyelenggaraan urusan
pemerintahan secara nasional dan kepentingan politik serta sosial ekonomi
masyarakat. Masalah keseimbangan pelaksanaan ketiga asas tersebut menimbulkan dampak
pada tumpang tindihnya pelaksanaan urusan yaitu antara satu sektor dengan
sektor lain, antara perangkat pusat dengan perangkat daerah. Secara teoritis
maupun empiris penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak lagi dilaksanakan
secara desentralisasi atau sentralisasi semata, melainkan mengkombinasikan
antara asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penelitian
tentang model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi
dan tugas pembantuan dalam rangka hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia
masih sangat sedikit dilakukan. Jika ada itupun hanya mengkaji tentang sistem
pembagian fungsi atau urusan serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi
daerah. Namun pengkajian secara khusus tentang keseimbangan pelaksanaan
asas-asas pemerintahan di Indonesia sepanjang pengetahuan peneliti masih sangat
langka.
Dengan pertimbangan tersebut
pengkajian yang berjudul “Hubungan Antara Pusat dan Daerah (Studi Analisis
Keseimbangan Pelaksanaan Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan serta Dampaknya terhadap Efektivitas dan Efisiensi Penyelenggaraan
Urusan Pendidikan di Provinsi Jawa Timur) diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap kajian tentang pelaksanaan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai bagian dari kajian ilmu
administrasi dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pengambil dan
pelaksana kebijakan desentralisasi di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik interview
mendalam dan studi dokumentasi dari data sekunder yang ada di kantor
Sekretariat Provinsi, Sekretariat DPRD Provinsi dan Kantor Dinas dan
Badan Provinsi di Jawa Timur. Di samping itu peneliti juga meminta
pendapat dari ahli/pembimbing dalam melakukan validasi terhadap
rancangan model yang peneliti kembangkan berdasarkan kajian teori
tentang asas-asas penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian hubungan antara
pusat dan daerah serta model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pada tahap akhir peneliti juga
melakukan konfirmasi atas rancangan model melalui konsultasi dengan
pembimbing dan hasilnya adalah model keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan di tingkat provinsi sebagai
implementasi hubungan antara pusat dan daerah. Beberapa
pendekatan model keseimbangan antara lain: (1) kemandirian pelaksanaan
urusan pemerintahan kemudian menjadi urusan bersama (concurrent
powers) antara masing-masing tingkatan daerah otonom dan antara
pusat dan daerah; (2) kesejajaran urusan, masing-masing urusan mempunyai
fungsi dan peranan yang samasama penting; (3) proporsional urusan, bahwa
kreativitas pengembangan pelaksanaan urusan terbatas pada kewenangan
yang diberikan dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang sudah
berlaku. Beberapa implikasi teori dimana diperlukan menyempurnakan
pelaksanaan asas desentralisasi, bersamaan dengan pelaksanaan asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang berlaku sekarang.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kemudian diperbaiki dengan penerapan model pembagian urusan campuran (hybrid)
melalui pendekatan kegunaan dan kesesuaian dengan aspirasi masyarakat
dalam pengambilan kebijakan agar terdapat keseimbangan yang optimal
untuk melahirkan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Selanjutnya
diperlukan adanya dorongan kemandirian daerah untuk membiayai segenap
urusan pemerintahan serta otonomi partai politik di daerah, agar
kebijakan daerah tidak lagi ditentukan oleh pusat semata. Namun
masyarakat di daerah yang mempunyai otoritas dalam menyelenggarakan urusan
dan keputusan sendiri.
- Tentang Buku : Buku Ini berisi : 144 halaman, edisi cetakan lux, dilengkapi dengan lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota. Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang keseimbangan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan di Provinsi Jawa Timur yang dapat digunakan sebagai literatur wajib bagi para mahasiswa dan kalangan umum dalam memahami hubungan pusat dan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.Untuk mendapatkan buku ini Anda dapat menghubungi Telpon : (031) 567 7577 psw. 143 atau melalui Email : bambangsupri55@gmail.com atau bambangsuprijadi_uwks@yahoo.co.id atau dapat langsung memesan dengan me-reply tulisan ini.
Senin, 13 Februari 2012
MENUJU KOMUNITAS ASEAN 2011
(KOMUNITAS KEAMANAN ASEAN 2015)
(Proceeding)
Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang didirikan melalui Deklarasi Bangkok
pada 8 Agustus 1967, sesungguhnya memang sudah merupakan Komunitas Keamanan
(Security Community), karena salah satu butir penting dari awal pembentukan
ASEAN ialah memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun kerja sama ASEAN seperti termaktub dalarn Deklarasi Bangkok lebih
ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial dan
pembangunan budaya di kawasan, adalah suatu kenyataan bahwa pembentukan ASEAN
lebih didorong oleh motif politik. Antara lain memajukan perdamaian dan
stabilitas kawasan melalui penghormatan mengikat atas keadilan dan aturan hukum
dalam hubungan antar negara di kawasan yang sejalan dengan prinsip-prinsip
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Piagam PBB). ASEAN berdiri tidak berapa lama
setelah Indonesia menghentikan politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia.
Hal ini yang menjadi fondasi bagi ASEAN agar berbagai persoalan diselesaikan
secara damai dan tidak melalui perang. Selain soal "Peaceful settlement of
disputes," adalah suatu kenyataan pula bahwa ASEAN didirikan untuk
menciptakan rasa aman, terutama dari ancaman internal seperti pemberontakan
bersenjata, khususnya dari unsur-unsur komunis yang saat itu masih ada di
beberapa negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina dan Malaysia. Namun ASEAN
bukanlah suatu perhimpunan negara-negara anti komunis, terbukti dengan masuknya
negara-negara yang kuat unsur komunisnya seperti Vietnam, Cambodia, dan Laos ke
dalam ASEAN pada 1990-an.
Dalam
membentuk sebuah Komunitas Keamanan ASEAN, dibutuhkan mekanisme formal maupun
informal yang bisa berfungsi untuk mengurangi, mencegah dan mengelola konflik
yang muncul. Untuk mewujudkannya, ASEAN harus meningkatkan kapabilitasnya
dengan memperkuat mekanisme yang sudah ada atau jika perlu membentuk suatu
mekanisme baru yang sesuai dengan tuntutan saat ini dan masa depan. Oleh
karenanya, paradigma keamanan nasional yang selama ini hanya ditekankan kepada aspek
keutuhan teritorial dan persatuan nasional perlu diperhias hingga menyentuh
aspek keamanan manusia (human security) sebagai komponen dasar masyarakat
bangsa. Bab ini akan membahas tentang: sejarah munculnya konsep Komunitas
Keamanan, apa yang dimaksud dengan Komunitas Keamanan dan berbagai bentuk serta
tahapan Komunitas Keamanan; kemudian bagaimana peran Indonesia dalam evolusi
kerja sama politik keamanan serta akan dibahas juga mengenai kerangka kerja
Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC).
Kajian
Teori Komunitas Keamanan
Mengikuti
definisi yang diperkenalkan Karl Deutsch pada pertengahan 1950-an, suatu
komunitas keamanan diartikan sebagai sekelompok rakyat yang terintegrasi pada
satu titik di mana terdapat jaminan nyata bahwa para anggota komunitas tersebut
tidak akan berperang satu sama lain secara fisik, melainkan akan menyelesaikan
perselisihan di antara mereka dengan cara lain. Deutsch mengobservasi ada dua
bentuk komunitas keamanan, yaitu Amalgamated
Security Community dan Pluralistic Security Community (PSC). Amalgamated Security Community ada
ketika terjadi penggabungan dua atau lebih unit-unit yang tadinya independen
ke dalam satu unit yang lebih besar, dengan satu tipe pemerintahan bersama
setelah terjadinya amalgamasi, contohnya adalah Amerika Serikat. PSC sebagai
alternatif, tetap mempertahankan independensi hukum
dari pemerintahan-pemerintahan yang terpisah. Negara-negara di dalam PSC
memiliki kesesuaian mengenai nilai-nilai inti yang didorong dari
institusi-institusi bersama, dan tanggungjawab bersama untuk membangun
identitas bersama dan loyalitas, suatu rasa "kekitaan" dan
terintegrasi pada satu titik di mana mereka mempunyai dependable
expectations of peaceful change. Dengan kata lain, suatu PSC terbentuk
ketika negara-negara menjadi terintegrasi pada satu titik di mana mereka
memiliki sense of community yang, pada gilirannya, menciptakan suatu
jaminan bahwa mereka akan menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka di luar
perang. Singkatnya, menurut Deutsch, negara-negara yang tergabung di dalam
komunitas keamanan telah menciptakan bukan hanya suatu tatanan yang stabil (a
stable order), melainkan, pada kenyataannya, suatu perdamaian yang stabil (a
stable peace).
Fondasi-fondasi konseptual bagi
terbentuknya komunitas keamanan terdiri atas tiga tataran. Pada tataran
pertama, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat terbentuknya komunitas
keamanan, yaitu terjadinya perubahan teknologi dan adanya ancaman dari luar, menyebabkan
negara-negara membentuk aliansi dan muncul hasrat untuk mengurangi ketakutan
bersama melalui koordinasi keamanan. Namun, berbeda dengan aliansi militer yang
ditujukan untuk menghadapi ancaman dari luar, komunitas keamanan lebih
ditujukan untuk menghadapi ancaman dari dalam komunitas itu sendiri dan tidak bertujuan
membangun aliansi militer untuk menghadapi ancaman dari luar. Selain itu,
perubahan demografi, ekonomi dan berkembangnya interpretasi baru mengenai
realitas sosial menyebabkan negara-negara melirik arah yang diambil oleh
masing-masing negara dan berupaya untuk mengoordinasikan kebijakannya untuk
mencapai keuntungan bersama. Pada tataran ini negara-negara sudah mulai mengesampingkan
ancaman militer dan lebih memfokuskan diri pada kerja sama non-militer, seperti
di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pada tataran pertama ini masih belum
terbentuk rasa saling percaya.
Pada tataran kedua faktor-faktor
kondusif untuk membangun rasa saling percaya dan identitas kolektif melalui
interaksi langsung yang amat sering dalam berbagai pertemuan bersama, barulah
terjadi pembelajaran sosial dan bangunan organisasi. Pada proses tersebut,
dibutuhkan adanya kekuatan dan pengetahuan mengenai sesamanya. Kekuatan bukan
dalam artian hard-power semata melainkan, lebih penting lagi, adalah soft-power.
Paduan antara soft-power dan
pengetahuan, mengenai sesama anggota komunitas, apa yang menjadi kepentingan
bersama serta kepentingan diri masing-masing anggota komunitas, merupakan
bagian dari proses pembelajaran sosial dan membangun fondasi organisasi.
Pada tataran ketiga kondisi-kondisi
yang diperlukan untuk menciptakan dependable expectations of peacefid change
dibutuhkan sosialisasi pada tingkatan elit politik dan rakyat agar muncul
rasa saling percaya yang pada gilirannya menciptakan identitas kolektif.
Dengan demikian akan tercipta pula kebudayaan regional yang diterima bersama, misalnya tentang demokrasi,
developmentalisme dan hak-hak asasi manusia.
Dari sini akhirnya tercipta apa yang disebut sebagai dependable expectations of
peaceful change. Suatu komunitas keamanan belum menjadi wujudnya yang utuh,
atau komunitas keamanan yang aktual, jika sosialisasi dan interaksi sosial
belum menyentuh masyarakat pada tataran bawah. Dengan kata lain, suatu
perhimpunan atau asosiasi baru merupakan komunitas keamanan formal semata jika
sosialisasi dan interaksi hanya terjadi pada tingkatan elite politik, atau
lebih sempit lagi, pada tataran birokrasi pemerintahan dan mereka yang
bertanggung jawab pada persoalan keamanan.
Perbedaan pandangan
mengenai apakah dan sejauh mana ASEAN telah menjelma menjadi suatu komunitas
keamanan menurut Amitav Acharya, baik sendiri maupun bersama penulis lain,
adalah satu dari sedikit pengamat hubungan internasional yang berupaya
menganalisis ASEAN melalui pendekatan komunitas keamanan. Namun, karena ia berupaya menjelaskan bahwa
komunitas keamanan dapat saja terbentuk di antara negara-negara yang tidak
menganut demokrasi liberal, suatu posisi yang amat berbeda dengan Deutsch dan
kawan-kawan pada 1957. Amitav, dapat dikategorikan sebagai salah satu penganut
neo-Deutschian atau orang yang tidak secara murni menerapkan berbagai premis
yang diajukan oleh Karl Deutsch. Posisi Amitav tampaknya amat tepat. Jika
tidak, adalah suatu hal yang mustahil untuk mengadopsi konsep komunitas
keamanan bagi kawasan di luar Eropa Barat dan Amerika Utara yang
negara-negaranya tidak menganut paham demokrasi liberal. Seperti kita ketahui
bersama, salah satu pilar dari Uni Eropa adalah sekulerisme dan demokrasi
liberal, dan ini tidak berlaku secara murni di dalam ASEAN, meskipun pada
rancangan Piagam ASEAN juga sudah mulai bicara mengenai demokrasi dan Hak-Hak
Asasi Manusia.
Merujuk
pada hubungan sekelompok negara yang ditandai sikap saling percaya yang tinggi
serta perasaan memiliki identitas bersama, maka konflik bersenjata antara
negara-negara tersebut menjadi suatu hal yang tidak terbayangkan. Kehadiran
community yang ditandai oleh adanya common
identity dan we feeling sebagai
hasil suatu proses interaksi menciptakan suatu non-war community atau komunitas
keamanan. Negara-negara yang terkait dalam suatu komunitas keamanan memiliki "dependable expectations of peaceful
change" atau dapat mengandalkan bahwa dalam berhubungan satu sama lain
setiap perubahan akan berlangsung secara damai. Yang menjadi fokus perhatian
pengamat hubungan internasional adalah Pluralistic
Security Community (PSC), yaitu hubungan transnasional negaranegara
berdaulat dalam satu kawasan di mana masyarakatnya senantiasa memelihara
hubungan damai, atau "a transnational region comprised of sovereign states
whose people maintain dependable expectations of peaceful change". PSC
berbeda dari amalgamated security community, di mana para anggota bergabung
dalam suatu kesatuan dan menyerahkan kedaulatannya kepada entitas baru
tersebut, misalnya dalam suatu negara federal atau konfederasi.
Semua
pengamat setuju bahwa Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa merupakan
suatu komunitas keamanan, meninggalkan sejarah konflik berabad-abad yang
mencapai puncaknya dalam dua perang dunia di abad ke-20. Demikian juga halnya
dengan wilayah Scandinavia, semua pengamat sepakat bahwa negara-negara yang
pada abad-abad sebelumnya sering terlibat perang, sejak awal abad ke-20
berhasil menjadi non-war community. Eropa Barat secara keseluruhan telah
menjelma menjadi suatu komunitas keamanan bukanlah dengan menciptakan struktur
atau institusi keamanan bersama. Komunitas Keamanan di Eropa Barat tercipta
melalui proses "desekuritisasi" dengan secara bertahap melakukan
marjinalisasi terhadap masalah-masalah keamanan serta menonjolkan isu-isu yang
lain.
Kenyataan
ini berbeda dari pandangan sebagian besar teoretikus yang beranggapan bahwa
komunitas keamanan hanya , dapat diraih dengan menciptakan struktur dan
institusi keamanan bersama.
Bertolak
dari definisi awal Deutsch yang kemudian dikembangkan oleh Michael Barnett dan
Emmanuel Adler maka para pengamat ASEAN berdebat mengenai apakah ASEAN setelah
empat puluh tahun telah menjelma dari suatu asosiasi minimalis menjadi suatu komunitas
keamanan. Para "ASEANists" berpendapat bahwa ASEAN sudah menjelma
menjadi komunitas keamanan. Buktinya berbeda dengan wilayah penuh konflik di
masa sebelumnya, sejak ASEAN berdiri tahun 1967 tidak ada lagi konflik terbuka
antar negara-negara anggota meskipun perselisihan dan perbedaan kepentingan
masih sering terjadi. Sulit dibayangkan bahwa pertikaian akan pecah menjadi
perang terbuka antar sesama anggota ASEAN, karena sejak tahun 1976 ASEAN telah
mengembangkan regional code of conduct
melalui Treaty of Amity and Cooperation
in Southeast Asia (TAC). Intinya setiap pertikaian harus diselesaikan
secara damai dan penggunaan kekerasan atau ancaman menggunakan kekerasan sama
sekali tidak dibenarkan. Salah seorang yang paling bersemangat mengatakan bahwa
ASEAN sudah menjadi komunitas keamanan adalah Estrella D. Solidum. Pada 1974
Solidum telah menulis tesis yang diterbitkan dengan judul Towards a Southeast Asian Community yang berpendapat bahwa ASEAN
sudah mulai menuju komunitas keamanan. Pada 2003 Solidum kembali menegaskan
bahwa ASEAN telah menciptakan keamanan di Asia Tenggara sehingga ASEAN telah
menjadi "full-fledged security community".
Di lain
pihak tidak sedikit pengamat yang skeptis dan sinis terhadap ASEAN. Masih
banyaknya sengketa wilayah, pertikaian dan konflik kepentingan antar sesama
anggota, belum adanya norma bersama yang dianut, lemahnya perasaan identitas
bersama serta belum adanya mekanisme ASEAN yang handal dan teruji untuk
menyelesaikan konflik, ditunjuk sebagai bukti bahwa sesungguhnya ASEAN masih
jauh dari suatu bentuk komunitas keamanan. Apabila tidak pecah perang terbuka
antar sesama anggota itu dikatakan sebagai sama sekali bukan karena keberadaan we feeling atau identitas bersama
negara-negara ASEAN, tetapi mungkin disebabkan oleh berbagai faktor lain yang
bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan "realist". Kaum realist misalnya akan beragumentasi bahwa
perdamaian di kawasan ASEAN lebih disebabkan oleh berbagai faktor seperti deterrence,
kepentingan pembangunan dalam negeri masing-masing yang mendorong sikap saling
menahan diri, kehadiran ancaman bersama dari luar, keberadaan kekuatan
ekstra-regional (khususnya Amerika Serikat) yang mendorong terciptanya tatanan
regional yang relatif damai dan sebagainya. Komunitas yang dibangun oleh ASEAN
dianggap masih semu kalau tidak dapat dikatakan palsu. Sebagian besar pengamat
ASEAN berada di antara dua pandangan ekstrem di atas.
Tahapan
komunitas keamanan yang ditulis Adler dan Barnett, dalam upayanya memberikan perspektif
teoretik mengenai security communitiies,
menjelaskan berbagai pandangan mengenai mengapa terjadi ketiadaan perang (the absence of war) pada umumnya, dan
khususnya perdamaian yang stabil. Bagi penganut realist atau neo-realist,
asumsi dasar yang berlaku ialah struktur politik internasional tergantung pada
distribusi kekuasaan yang mempengaruhi hubungan antar para aktor, sesuatu
lingkungan yang sangat asosial. Sebaliknya penganut konstruktivisme mengakui
bahwa realitas internasional merupakan suatu konstruksi sosial yang didorong oleh
pcngertian bersama, termasuk norma-norma, yang muncul dari interaksi sosial.
Karena itu, para penganut konstruktivisme memandang bahwa para aktor
internasional terikat dalam satu struktur yang normatif dan juga material
(yakni yang berisi aturan-aturan dan sumber-sumber), dan yang memungkinkan
mereka, pada kondisi yang tepat, membangkitkan identitas dan norma-norma
bersama yang terikat pada suatu perdamaian yang stabil.
ASEAN kini berada pada tahapan
varian "loosely coupled pluralistic security community" yang dewasa, tahapan yang sebenarnya
masih jauh dari "tightly coupled pluralistic security community". Pada PSC yang longgar, para anggota
menghormati kaidah security community yang
paling yang paling minimal tidak melakukan agresi atau melakukan ancaman terhadap
sesama anggota. Sementara dalam PSC yang lebih ketat ada dua hal lagi yang
harus dipenuhi. Pertama, para
anggota mengembangkan "mutual
aid" security, atau saling membantu dalam masalah
keamanan dengan membentuk suatu sistem keamanan kolektif, dan kedua, ada aturan yang, mengikat para
anggota sehingga negara anggota tidak lagi sepenuhnya berdaulat. Don Emmerson juga
berpendapat bahwa ASEAN sudah menunjukkan keberadaan PSC yang tipis atau PSC
deskriptif. Anggota ASEAN memiliki rasa kebersamaan
komunitas dan juga harapan atas keamanan, namun belum dapat secara pasti
dikatakan bahwa perasaan komuntaslah yang
menciptakan keamanan regional tersebut. PSC yang tebal (thick
pluralistic commuuity) merupakan
keadaan ketika dapat ditunjukkan secara meyakinkan adanya kausalitas bahwa
keberadaan community dan security.
Di lain pihak pengalaman ASEAN juga meminjukkan bahwa hubungan antara community dan security tidaklah linear seperti dikemukakan
oleh Deutsch dan pengikutnya, tetapi justru merupakan hubungan timbal balik.
Terciptanya kawasan yang stabil dan damai juga memungkinkan terjalinnya
hubungan kerja sama antar negara dan bangsa yang semakin erat di lingkungan
ASEAN, yang pada gilirannya dapat melahirkan identitas bersama dan perasaan we
feeling yang merupakan
wujud community.
Evolusi
Kerja sama Politik Keamanan: Peranan Indonesia
Terlepas dari perdebatan di
kalangan akademis mengenai apakah ASEAN sudah menjadi komunitas keamanan atau belum
dan seberapa tebal atau tipis masyarakat keamanan yang telah terbentuk
tersebut, para pembuat kebijakan ASEAN justru baru mengusulkan pembentukan
Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security
Community-ASC) untuk pertama kali pada 2003 untuk diwujudkan pada
2020, dan kemudian dipercepat menjadi tahun 2015. Hal ini secara nyata
menunjukkan bahwa dalam pandangan para pembuat kebijakan ASEAN sendiri,
sesungguhnya ASC itu belumlah terbentuk, dan diperkirakan akan memakan waktu
selama lebih satu dekade sejak usul dibuat untuk direalisasi, apabila setiap rencana
aksi diimplementasikan secara konsisten. Pimpinan ASEAN-tampaknya mulai tanggap
terhadap berbagai kritik yang timbul atas lemahnya sistem dan aturan yang
mengikat ASEAN yang dinilai menghambat kinerja optimal organisasi regional ini.
Ketidakberdayaan ASEAN dalam merespons berbagai krisis yang timbul di kawasan
ini di akhir tahun 1990-an, khususnya yang
menimpa beberapa anggota kunci ASEAN, juga mendorong lahirnya pemikiran,
yang lebih radikal mengenai arah ASEAN ke depan. Apakah ASEAN akan mempertahankan
status quo sebagai asosiasi regional yang minimalis, yang berpijak pada prinsip
kedaulatan dan non-intervensi absolut, dengan resiko ini mengalami
marjinalisasi dan semakin berkurangnya relevansi ASEAN dalam kehidupan para anggotanya, atau ASEAN harus melakukan
reformasi dan mengubah paradigmannya, antara lain dengan melangkah lebih jauh
dari pendekatan ASEAN Way yang sebelumnya diagungkan.
Mesikipun pembentukan ASEAN
memiliki tujuan akhir politik dan keamanan, yakni terciptanya hubungan harmonis
antara negara-negara anggota sehingga dapat melahirkan kawasan yang aman dan
stabil, pada awalnya ASEAN secara sengaja menghindari kerja sama di bidang politik
dan keamanan yang dinilai terlalu sensitif. Perbedaan sistem politik dan
orientasi kebijakan pertahanan negaranya itu sendiri ASEAN, meskipun mereka
sama-sama anti komunis, serta masih rendahnya sikap saling percaya antara
mereka yang terpisah lama oleh pengalaman sejarah kolonial yang berbeda-beda,
menyebabkan para pendiri ASEAN sangat berhati-hati mengenai apa yang bisa
diterima bersama. ASEAN diciptakan sebagai asosiasi yang longgar untuk membangun
rasa saling percaya melalui kerja sama di bidanh-bidang yang tidak terlalu
sensitif seperti masalah ekonomi dan sosial-budaya. Sebagai asosiasi, ASEAN tidak
dimaksudkan untuk menjadi suatu organisasi regional yang mengikat, apalagi yang memiliki wewenang supranasional yang
dapat mengurangi kedaulatan dan independensi dalam bertindak para anggotanya.
ASEAN pada awalnya tidak lebih dari
suatu paguyuban regional yang fungsi
utamanya adalah menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan melalui prinsip
hubungan bertetangga baik, antara lain dengan tidak saling mencampuri urusan dalam
negeri masing-masing serta menghormati kedaulatan dan integritas wilayah
sesama, sehingga setiap anggota dapat memfokuskan perhatian pada pembangunan dalam
negeri masing-masing. Jelas sekali bahwa visi tentang integrasi regional,
apalagi membangun suatu Komunitas ASEAN yang didasari suatu Piagam ASEAN yang
mengikat dan harus dipatuhi setiap angora tidaklah terbayangkan, dan kalau
terbayangkan pasti ditentang, pada awal berdiri nya ASEAN pada 1967.
Dalam situasi Perang Dingin,
khususnva di tengah perang Vietnam yang
masih berkecamuk dan kehadiran China sebagai kekuatan komunis yang ditakuti,
negara-negara anti-komunis yang tergabung dalam ASEAN juga tidak ingin
dicitrakan sebagai kaki-tangan Blok Barat. Sebagian anggota ASEAN merupakan
sekutu negara-negara Barat, seperti Thailand dan Filipina yang menjadi anggota
aliansi militer SEATO (Southeast
Asian Treaty Organization) yang dipimpin Amerika Serikat, namun
sebagian lagi, khususnya Indonesia, adalah anggota Gerakan Non-Blok. Tidaklah
mengherankan bahwa ketika didirikan ASEAN menjauhi kerja sama dalam bidang
pertahanan dan keamanan pada tataran regional, karena hal itu tidak saja sangat
sulit untuk dilakukan mengingat perbedaan yang ada, tetapi ASEAN tidak ingin
dicitrakan sebagai pakta militer anti-komunis yang justru dapat mengundang
ancaman dari kekuatan komunis waktu itu.
Dalam perjalanannya, ternyata pada
awalnya kegiatan ASEAN yang lebih menonjol justru dalam bidang politik dan
keamanan (bukan pertahanan) regional. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya
Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace,
Freedom and Neutrality) pada 1971 sebagai respons negara-negara ASEAN
terhadap Doktrin Guam yang dicanangkan Amerika Serikat pada 1969, bahwa
negara-negara di kawasan ini harus lebih mandiri dalam bidang pertahanan,
serta respon terhadap langkah normalisasi hubungan Amerika Serikat dan China
yang mengejutkan beberapa sekutu Amerika Serikat di kawasan ini. Negara-negara
ASEAN dituntut untuk tidak lagi terlalu menggantungkan diri pada perlindungan
kekuatan luar yang setiap saat kepentingannya bisa berubah tanpa terlalu
memerhatikan kepentingan sekutu-sekutunya yang kecil.
Kemenangan
kekuatan Komunis di Indochina secara keseluruhan dan mundurnya pasukan Amerika
Serikat dari Vietnam pada 1975 mendorong lahirnya Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord I) pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) pertama para kepala pemerintahan ASEAN tahun 1976 yang
memuat bidang-bidang kerja sama termasuk bidang politik. KTT I di Bali
tersebut juga melahirkan Treaty of Amity
and Cooperation in Southeast Asia (TAC) yang mengatur tentang penyelesaian
konflik secara damai dan pelarangan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik. TAC juga memuat provisi tentang penyelesaian konflik antara sesama
anggota ASEAN melalui mekanisme High
Council apabila disetujui oleh kedua pihak yang bertikai. TAC merupakan regional code of conduct yang selama ini
dianggap paling berperan dalam meredam konflik antara sesama anggota dan
menumbuhkan budaya hubungan damai. Invasi dan pendudukan yang dilakukan pasukan
Vietnam terhadap Cambodia dari tahun 1979 sampai dengan 1991 juga mengedepankan
peran ASEAN dalam bidang politik dan keamanan regional. ASEAN memainkan peran
yang sangat aktif dalam mengakhiri konflik di Cambodia, terutama melalui
kegiatan diplomatik di PBB. Indonesia juga sangat berperan dalam negosiasi
damai yang mengakhiri pendudukan Vietnam di Cambodia melalui serangkaian
pertemuan informal (cocktail parties,
Jakarta Informal Meetings) di Indonesia antara pihak-pihak yang bertikai,
dan peranan Indonesia sebagai "CO-Chairs"
bersama Perancis dalam perundingan damai di Paris pada 1991.
Setelah
Perang Dingin berakhir kerja sama ASEAN dalam bidang politik-keamanan semakin
meningkat dengan mengembangkan sayap ke wilayah Asia Pasifik yang lebih luas.
ASEAN mengeluarkan Deklarasi Bersama tentang Laut Cina Selatan pada 1992 yang
menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa wilayah tersebut
sebagai respon atas aktivitas China yang mengklaim seluruh wilayah Laut Cina
Selatan. Pada tahun 1994 ASEAN memprakarsai pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) pertama di Bangkok,
yang merupakan forum dialog keamanan multilateral pertama dan satu-satunya di
Asia Pasifik. ARF ditujukan untuk memajukan rasa saling percaya atau Confirdence Building Measures (CBM), Preventive Diplomacy dan apabila memungkinkan untuk menyelesaikan
konflik (conflict resolution). Pada
tahun 1995 negara-negara ASEAN menyepakati, ASEAN menjadi kawasan bebas dari
senjata nuklir dengan menandatangani Traktat Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANTWFZ) yang mulai
berlaku sejak 1997.
Adalah
suatu kenyataan bahwa Indonesia cukup berperan dalam meletakkan
prinsip-prinsip dasar dalam bidang politik dan keamanan ASEAN. Dari semula
Indonesia menginginkan suatu tatanan regional yang mandiri, yang bebas dari
campur tangan kekuatan asing. Ketika ASEAN didirikan Indonesia merupakan
satu-satunya anggota yang tidak terikat dalam aliansi pertahanan dengan pihak
luar. Keinginan Indonesia ini tidak sepenuhnya didukung anggota lain yang masih
menaruh curiga atas ambisi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara
dan pernah melancarkan konfrontasi bersenjata terhadap Malaysia (termasuk
Singapura). Deklarasi ZOPFAN dan mekanisme untuk menyelesaikan konflik dalam
TAC yang mengedepankan peranan negara-negara kawasan sendiri mencerminkan
sikap Indonesia yang menginginkan negara-negara ASEAN menjadi tuan rumah di
negeri sendiri. Bali Concord I juga mcmuat pandangan Indonesia mengenai
keamanan yang bersifat komprehensif (comprehensive security), di mana setiap
bidang kait-mengkait untuk membangun Ketahanan Nasional.
Selama
pemerintahan Orde Baru pembangunan dalam negeri Indonesia sangat menekankan
pendekatan keamanan komprehensif tersebut dengan melakukan sekuritisasi terhadap
hampir setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya
sebagai strategi mewujudkan stabilitas dan keamanan. Meskipun didominasi
kekuatan militer, pemerintah Orde Baru tidak mengedepankan organisasi militer
atau pertahanan militer an sich
sebagai strategi pertahanan dan keamanan, baik dalam menghadapi ancaman dari
dalam maupun dari luar negeri. Doktrin yang dikembangkan Indonesia mengenai
Ketahanan Nasional (National Resilience)
dan Ketahanan Regional (Regional Resilience)
diadopsi di dalam Declaration of ASEAN Concord I. Pendekatan Keamanan ini,
meskipun bersifat komprehensif, berorientasi pada pemeliharaan keamanan negara
atau state security terutama dari
ancaman internal, sehingga keamanan insani atau human security, apalagi yang berkaitan dengan hak asasi manusia
menjadi problematis. Tidak jarang keamanan negara diraih dengan melakukan
pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Hal ini juga terjadi di negara-negara
ASEAN lainnya yang juga berada di bawah pemerintahan otoriter atau
semi-otoriter.
Juga,
merupakan kenyataan bahwa selama pemerintahan Orde Baru Indonesia merupakan negara
yang tergolong konservatif dalam ASEAN apabila dikaitkan dengan kesediaan
menyerahkan sebagian kewenangan terhadap institusi ASEAN. Indonesia sangat
sensitif terhadap isu kedaulatan dan intervensi dari luar mengingat pengalaman
sejarah seperti pemberontakan daerah yang didukung pihak luar, termasuk oleh
sebagian negara yang kemudian tergabung dalam ASEAN. Prinsip musyawarah dan
mufakat atau konsensus dalam mencapai keputusan juga merupakan bagian dari
budaya politik Indonesia di bawah Orde Baru yang diadopsi ASEAN. Dengan kata
lain, Indonesia mcrupakan tokoh kunci dalam kelanggengan ASEAN Way, yang di
satu pihak telah membantu menciptakan hubungan antara anggota yang harmonis
serta kawasan yang relatif aman dan stabil, dan di lain pihak menghambat ASEAN
untuk melangkah lebih cepat dan dinamis untuk mengatasi persoalanpersoalan
regional. Dalam ASEAN Way ini fokus kegiatan adalah negara dan para pelaku
kegiatan adalah para elit pemerintahan yang cenderung eksklusif, didominasi
oleh Departemen Luar Negeri masing-masing anggota.
Melihat
kenyataan di atas adalah menarik dan mungkin tidak terlalu mengherankan bahwa
Indonesia berada di garda terdepan dalam memajukan konsep ASC. Yang menarik
perhatian adalah beberapa usul dalam konsep ASC yang mulai meninggalkan
sebagian dari prinsip-prinsip baku dalam ASEAN yang dulu dipegang erat
Indonesia, misalnya negara sebagai fokus utama kerja sama, prinsip untuk tidak
mencampuri urusan dalam negeri dan kerja sama pertahanan di luar wadah ASEAN.
Indonesia ingin mendorong kerja sama politik dan keamanan di lingkungan ASEAN
vang tidak hanya terfokus pada upaya membangun hubungan damai antar-negara
tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri antara lain dengan
memajukan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Artinya Indonesia
ingin menciptakan ASC yang tidak saja state-oriented
tetapi juga people-orierited, dan
tidak hanya mengedepankan hubungan damai antar-negara ASEAN tetapi juga
hubungan damai di dalam negeri masing-masing seperti definisi komunitas
keamanan yang ditulis Laurie Nathan di atas. Melalui ASC institusi regional ini
juga diharapkan dapat lebih berperan aktif dalam memelihara perdamaian regional
dan menyelesaikan konflik melalui mekanisme regional sendiri. Hal ini akan
diulas secara lebih rinci di bagian berikutnya.
Ada
beberapa alasan mengapa Indonesia mengambil prakarsa mengusulkan konsep ASC
dengan definisi yang lebih luas tersebut, meliputi hubungan internasional serta
situasi keamanan di dalam negeri masing-masing anggota.
Pertama, sejak terjadi reformasi politik pada 1998 yang mengantarkan Indonesia
menjadi negara demokrasi, demokrasi dan hak asasi manusia menjadi isu sentral
dalam kehidupan nasional Indonesia yang turut memengaruhi kebijakan luar
negeri. Demokratisasi juga memperluas aktor yang turut memengaruhi perumusan
kebijakan luar negeri Indonesia sebagai kelompok penekan, misalnya semakin
meningkatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga swadaya masyarakat,
media dan kalangan akademisi. Di antara isu yang diangkat oleh para kelompok
penekan tersebut adalah ketidakpuasan terhadap kinerja ASEAN yang terlalu state-oriented atau berorientasi pada
negara dan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat luas serta kurang peduli
pada hak-hak sipil dan politik masyarakatnya. Kedua, pengalaman Indonesia menghadapi kekerasan di Timor Timur
pada 1999 dan ketidakmampuan negara-negara ASEAN untuk mengambil peran utama
dalam memulihkan keamanan sehingga pasukan internasional didominasi tentara
Australia, yang menimbulkan kemarahan kelompok nasionalis Indonesia,
memunculkan ide di Jakarta agar ke depan ASEAN bisa lebih berperan dalam
memelihara perdamaian regional secara aktif. Ketiga, dalam rangka mengisi rencana Komunitas ASEAN yang akan
disepakati di KTT ASEAN di Bali pada 2003, Indonesia perlu mengusulkan
inisiatif yang dapat mengembalikan kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang redup
setelah didera krisis multidimensional sejak 1997. Keempat, Indonesia
berpendapat bahwa setelah ASEAN Free
Trade Area mulai diimplementasikan dan usul Singapura tentang Komunitas
Ekonomi ASEAN disetujui, kerja sama ASEAN terlalu didominasi isu-isu ekonomi
sementara kerja sama politik-keamanan, khususnya yang membenahi hubungan
intra-ASEAN, kurang mendapat perhatian. Konsep ASC diajukan Indonesia sebagai
payung kerja sama politik-keamanan untuk mewujudkan visi Komunitas ASEAN.
Harus diakui bahwa dalam ASEAN selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian
terhadap masalah politik-keamanan daripada masalah ekonomi karena Indonesia
cenderung nicrasa kalah bersaing di bidang ekonomi dengan negara-negara ASEAN
lainnya.
Komunitas
Keamanan ASEAN 2003 dan Vientiane Action
Program 2004
Pada KTT
ke-9 ASEAN di Bali pada Oktober 2003, para pemimpin ASEAN dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali
Concord II) menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga
pilar, yaitu kerja sama politik dan keamanan, kerja sama ekonomi dan kerja sama
sosial budaya. Kerangka ASC meliputi 12 poin.
Kalau dicermati, kerangka ASC sesungguhnya tidak
beranjak jauh dari apa yang sudah dimiliki clan dipraktikkan ASEAN selama ini.
Prinsip-prinsip mengenai kedaulatan negara, non-intervensi,pembuatan kcputusan
melalui konsensus, dan penyelesaian konflik secara damai dan tetap menjadi ciri
utama ASC. ASC juga menegaskan kembali komitmen terhadap semua instrumen
politik ASEAN yang sudah ada. Di samping itu ASC juga menolak pakta militer dan
lebih mengedepankan pendekatan keamanan yang komprehensif.
Perbedaan ASC dari kerja sama politik sebelumnya
adalah keinginan untuk memperkuat kapasitas ASEAN dalam rangka mencegah dan
menyelesaikan konflik dan kekacauan di lingkungan ASEAN sendiri, sesuatu yang
belum pernah diajukan sebelumnya. Kerja sama maritim di tingkat regional, tidak
saja secara bilateral atau trilateral juga merupakan inisiatif baru. Bali Concord II juga mengusulkan
peningkatan kerja sama di bidang pertahanan secara lebih luas, hal yang
sebelumnya selalu dihindari.
Perlu
diketahui bahwa draft yang diusulkan Indonesia sebenarnya mengandung
lebih banyak ide orisinal yang cukup radikal. Meskipun tetap mendukung prinsip
noninterferensi dalam urusan domestik masing-masing negara anggota, Indonesia
menginginkan prinsip ini diterapkan secara lebih fleksibel agar negara anggota
lebih terbuka terhadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila ada
masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis kemanusiaan.
Indonesia juga mengusulkan agar ASEAN memajukan demokrasi serta memerhatikan
perlindungan HAM, antara lain dengan mendirikan mekanisme regional perlindungan
HAM. Ide orisinal lainnya adalah pembentukan pasukan perdamaian regional
sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif dalam
pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Kemampuan
seperti ini diperlukan apabila ASEAN ingin berperan dalam pemeliharaan
perdamaian regional seperti yang dimaksud dalam Bab VIII Piagam PBB. Indonesia
juga mengusulkan diadakannya ASEAN Extradition Treaty.
Namun
dalam pertemuan di Bali usul-usul Indonesia tersebut ditentang oleh sebagian
negara anggota lainnya yang menilai usul Indonesia telah melangkah terlalu
jauh. Tidak ada anggota ASEAN lain yang secara eksplisit menentang usul
Indonesia untuk memasukkan demokratisasi dan perlindungan atas HAM, meskipun
beberapa anggota, tidak hanya Myanmar, merasa kurang nyaman dengan usulusul
Indonesia tersebut. Fokus kritik tertuju pada usul pembentukan pasukan
perdamaian ASEAN yang dapat digelar di negara-negara anggota ASEAN apabila
diperlukan. Meskipun Indonesia sendiri telah mengundang rnisi perdamaian dari
negara-negara ASEAN, baik untuk turut mengatasi kekacauan di Timor Timur
setelah dilakukan jajak pendapat bulan Agustus 1999 maupun untuk mengimplementasikan
hasil Perdamaian Helsinki di Aceh, sebagian besar negara ASEAN menganggap ide
pembentukan pasukan perdamaian ASEAN terlalu prematur. Pertanvaan berkisar
seputar masalah-masalah teknis tentang besar kekuatan, pendanaan, sistem
komando dan lain-lain, namun dapat diperkirakan bahwa masalah utama adalah
masih adanya kekhawatiran tentang kemungkinan intervensi dalam masalah domestik
oleh pasukan perdamaian ASEAN yang mungkin akan didominasi oleh anggota yang lebih
besar. Usul pembentukan pasukan perdamaian ASEAN tidak menjadi bagian dari ASC.
Kerangka ASC yang akhirnya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara
tentang komitmen memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tidak kelihatan adanya
pergeseran kerja sama politik dan keamanan ASEAN dari state-oriented menjadi
lebih people-oriented.
Namun
apabila membaca Bali Concord II secara lebih teliti akan terlihat adanya
sedikit pergeseran paradigma dari orientasi yang sepenuhnya terfokus pada
keamanan negara dan hubungan antar-negara menuju keamanan yang lebih memperhatikan
pembangunan politik yang lebih demokratis, meskipun masih sangat samar-samar. Ball
Coizcord II juga mendorong agar negara-negara ASEAN menjadi lebih terbuka
pada kritik-kritik dari sesama anggota.
Dalam
Butir 4 Deklarasi dinyatakan bahwa "ASEAN akan menumbuhkan nilai –
nilai bersama, misalnya kebiasaan untuk
berkonsultasi membicarakan isu-isu politik dan kesediaan untuk membagi informasi
mengenai masalah yang menjadi perhatian bersama, seperti masalah perusakan
lingkungan hidup, kerja sama maritim, peningkatan kerja sama pertahanan
antar-sesama negara ASEAN, membangun
seperangkat nilai – nilai dan prinsip-prinsip sosial-politik, dan kemauan
untuk menyelesaikan pertikaian yang telah berlarut-larut secara damai.
Mengingat perbedaan sistem politik yang tajam di ASEAN, yang terbagi di antara
negara-negara demokratis, semi-demokratis dan otoriter, dapat dipahami bahwa
pengungkapan komitmen untuk memajukan demokrasi dan perlindungan HAM secara
terbuka seperti yang pada awalnya diusulkan Indonesia masih sulit diterima.
Kata-kata yang dimiringkan oleh penulis secara halus dan implisit menyatakan bahwa
ASEAN akan mengembangkan nilai-nilai bersama dan lebih terbuka membicarakan hal-hal
yang menyangkut kepentingan bersama dapat dikatakan sebagai kata sandi, bahwa
masalah dalam negeri tidak lagi tabu untuk dibicarakan, dan bahwa ASEAN ingin
mengembangkan nilai-nilai bersama tentang sistem sosial politik yang ideal.
Butir 1 dari kerangka ASC juga memuat kata "democratic"
dan "just' bahwa negeri-negeri
di kawasan ini akan hidup secara damai-dalam lingkungan yang "adil, demokratis
dan harmonious", meskipun Emmerson berkomentar bahwa kata “harmonious” mungkin ditambahkan oleh
negara-negara yang tidak menghendaki sistem demokrasi yang kompetitif yang
dapat menimbulkan disharmoni.
Rencana aksi ASC dikembangkan secara lebih detail dalam
Vientiane Action Program (VAP) yang disetujui pada November 2004. VAP mengenai
ABC berhasil mcnyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan pcrlindungan HAM secara
lebih terbuka. VAP' juga mengakui peranan dialog Jalur Kedua (Track-Two) yang
melibatkan aktor-aktor non-pemerintah dalam mengembangkan Komunitas ASEAN
serta mendorong keterlibatan kerja sama antar masyarakat ASEAN secara lebih
luas, misalnya melalui ASEAN People's Assembly
(APA).
Dalam "Goals
mid Strategies towards Realising the ASEAN Community", tema dari ASC
adalah "Enhancing peace, stability,
democracy and prosperity in the region through comprehensive political and
security cooperation". Di sini kata "demokrasi" sekali lagi
dimunculkan secara terbuka. VAP memiliki lima “Strategic Thrusts” yaitu Political
Development, Sharing and Shaping Norms, Conflict Prevention, Conflict
Resolution, Pos-Conflict Peace – Building.
Di bawah Political Development terdapat tujuh untuk
mengembangkan ASC, antara lain, meningkatkan pengetahuan dan apresiasi mengenai
sistem politik, budaya dan sejarah melalui peningkatan hubungan masyarakat dan
kegiatan "track-two";
memajukan hak asasi manusia dan tanggung jawab manusia; membangun dukungan
timbal balik antar sesama negara ASEAN untuk mengembangkan strategi penegakan
supremasi hukum, sistem peradilan dan infrastruktur hukum dan membangun tata
kelola pemerintahan dan sektor swasta yang baik; mencegah korupsi. Meskipun
masalah HAM dan supremasi hukum tidak disinggung di dalam Bali Concord II, strategi di bidang pembangunan politik berhasil
menggolkan masalah penting ini di dalam VAP. Disebutnya APA dan kegiatan "track-two" juga menunjukkan
pengaruh jaringan ASEAN-ISIS yang telah melaksanakan APA setiap tahun sejak
tahun 2000, walaupun pada awalnya kurang mendapat dukungan yang memadai dari
sebagian negara ASEAN. APA selama ini hanya didukung empat negara ASEAN, yakni
Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Di bawah "Shaping
mid Sharing of Norms" dikatakan bahwa akan dibangun "common adherence to norms of good
conduct in a democratic, tolerant, participatory and open community"
dalam rangka memperkuat solidaritas, kohesivitas dan harmoni ASEAN (zve feelitig), suatu pernyataan yang
cukup tegas tentang keinginan untuk membangun sistem politik yang demokratis
yang terbuka dan partisipatif sebagai salah satu syarat terbentuknya suatu security commurlity. Hanya agak aneh
bahwa selain upaya menyusun Piagam ASEAN, strategi yang diusulkan sama sekali
tidak berkaitan dengan pembangunan sistem politik yang dapat mendorong
terciptanya demokrasi, tetapi lebih menekankan prinsip-prinsip kerja sama
regional yang sudah baku seperti TAC, SEANWFZ dan kerja sama dalam bidang cowiter-terrorism.
Di bawah judul "Conflict
Prevention" ada tujuh strategi yang akan ditempuh, antara lain
meningkatkan pertukaran antara personil militer, meningkatkan transparansi
dalam bidang kebijakan pertahanan, membangun sistem peringatan dini ASEAN
berdasarkan instrumen yang ada untuk mencegah terjadinya atau eskalasi konflik,
mengatasi kejahatan transnasional melalui kerja sama regional, membuat
"ASEAN Arms Register" dan
mendorong kerja sama maritim. Strategi dalam rangka mencegah konflik ini menegaskan
kembali kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, misalnya kerja sama dalam
mengatasi terorisme dan kejahatan transnasional, namun juga ada usul-usul baru
seperti mendorong kerja sama maritim dan pemhuatan "ASEAN Arms Register".
Dalam bidang "Conflict
Resolution", VAP belum sampai pada proposal yang eksplisit mengenai
pembentukan suatu pasukan perdamaian ASEAN, namun jalan ke arah itu sudah
muncul. Ada tiga strategi yang disepakati, yaitu menggunakan pusat pasukan
perdamaian yang telah dan akan dibentuk secara nasional (existing and planned national peacekeeping centres) untuk membangun
mekanisme regional guna memelihara perdamaian dan keamanan regional; apabila
diperlukan memperkuat dan membangun mekanisme baru berdasarkan modrrs
renvrlt-s,ii.1n konflik secara damai yang sudah adamelaksanakan penelitian
bersama tentang manajemen dan resolusi konflik.
Strategi baru mewujudkan ASC banyak muncul di bawah
judul “Post Conflict Peace Building”.
Ada lima strategi yang disepakati untuk membangun perdamaian yang langgeng pada
masa pasca-konflik sehingga mencegah terulangnya kembali konflik. Ketujuh
strategi tersebut adalah: memperkuat bantuan kemanusiaan dengan cara
menyediakan tempat berlindung (safe
havens) di wilayah konflik; melaksanakan pembangunan sumber daya manusia
dan program pembangunan kapasitas di wilayah yang menjalani resolusi
pasca-konflik dan rehabilitasi; mengupayakan terbentuknya pusat
manajemen/bantuan krisis ASEAN; mengurangi ketegangan antar-komunal melalui
pertukaran pendidikan dan pembaruan kurikulum; meningkatkan kerja sama dalam
rekonsiliasi dan mempromosikan budaya damai.
Dalam bidang pembangunan damal pasca-konflik ini
strategi yang dikembangkan secara eksplisit bertujuan menangani masalah konflik
dalam negara sehingga security community
yang hendak dikembangkan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar-negara.
Manakala hubungan perang dan damai antar-negara lebih menonjolkan peranan
negara, maka masalah konflik dan damai di dalam negeri terkait dengan hubungan
antara negara dan masyarakat (hubungan vertikal) dan hubungan antar-masyarakat
(hubungan horizontal). Dari seluruh strategi yang hendak dikembangkan dalam
rangka mewujudkan ASC, maka yang secara terbuka mengembangkan kebijakan yang
lebih "people-oriented" adalah strategi "Post-Conflict Peace Building". Berikutnya adalah di bidang
"Political Development" dan
" Shaping and Sharing of Norms",
meskipun di bidang yang terakhir ini strategi yang dikembangkan belum
sepenuhnya mendukung sasaran yang hendak dicapai. Kelima Strategic Thrusts di
atas dilengkapi dengan "Program Areas and Measures" yang cukup
detail.
Pertanyaan yang muncul apakah ASC juga akan melahirkan
kebijakan yang sama dalam bidang politik luar negeri dan keamanan atau Common Foreign and Security Policy
(CFSP) seperti yang sudah diterapkan oleh Uni Eropa? Dilihat dari butir-butir
kesepakatan dan rencana aksi ASC belum tampak ada niat untuk mengarah pada
suatu CFSP. Hal ini tidak mengherankan, karena ketika masih berbentuk European Community negara-negara Eropa
Barat juga belum memiliki suatu CFSP. CFSP baru disepakati setelah European Community menjelma menjadi Uni
Eropa pada awal tahun 1990-an, namun pelaksanaannya tetap menghadapi banyak
masalah seperti terlihat dari perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara
negara-negara anggota dalam menyikapi invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003.
Uni Eropa juga belum berhasil membentuk kekuatan pertahanan bersama yang otonom
dari pasukan NATO (North Atlantic Treaty
Organitation) yang didominasi Amerika Serikat. Namun di lain pihak,
negara-negara ASEAN selama ini sudah terbiasa mengoordinasikan kebijakan luar
negeri mereka dalam menghadapi pihak ketiga, seperti terlihat dalam keberhasilan
ASEAN dalam memperjuangkan masalah Cambodia di tingkat PBB dan dalam mendorong
China untuk menyepakati pengelolaan konflik Laut China Selatan secara damai.
Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang terlalu sulit apabila suatu ketika
Komunitas Asia Tenggara (South East Asian Community-SEAC) memiliki Common
Foreign Policy. Kesulitan yang lebih besar tetap akan ditemui dalam bidang
Common Security Policy, terutama yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan peranan
militer umumnya. Sebagian negara anggota ASEAN atau mungkin nantinva berubah
nama menjadi SEAC terikat dalam aliansi militer dengan pihak luar, sementara
sebagian lagi menganut kebijakan non-blok. Apabila terjadi lagi suatu krisis
seperti perang Irak yang baru lalu yang melibatkan Amerika Serikat maka dapat
diduga bahwa sekutunya di Asia Tenggara akan berada pada posisi yang mungkin
harus mendukung Washington, sementara negara-negara yang non-blok seperti
Indonesia bisa lebih leluasa menentukan sikap sesuai dengan tuntutan domestik
dan situasi internasional. Untuk sementara waktu, Common Security Policy lebih
mungkin untuk diterapkan dalam bidang keamanan non-tradisional daripada dalam
bidang keamanan konvensional.
Penutup
Konsep ASC sebagai salah satu tonggak Komunitas ASEAN
berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja dimaksudkan untuk membangun
budaya hubungan damai di antara negara-negara ASEAN tetapi juga mendorong
terciptanya situasi yang stabil dan damai di dalam negeri masing-masing. Hal
ini sesuai dengan definisi komunitas keamanan yang sesungguhnya, di mana tidak
boleh ada konflik atau kekerasan, baik dalam hubungan antar-negara maupun di
dalam negeri para anggota yang terikat dalam suatu komunitas keamanan. Sistem
demokrasi dengan komitmen perlindungan terhadap HAM dianggap sebagai norma dan
prinsip yang paling ampuh untuk menciptakan "dependable expectations of peaceful change" di dalam negeri,
sementara integrasi dan penciptaan we feeling antara negara-negara berdaulat
dapat mendorong terwujudnya suatu pluralistic security community yang
sepenuhnya telah meninggalkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
Upaya Indonesia untuk mendorong diterimanya demokrasi
dan penghormatan terhadap HAM belum sepenuhnya diterima di dalam kerangka ASC
yang disepakati di Bali pada 2003, namun dalam VAP sebagian usul awal
Indonesia yang semula ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP juga menyetujui
berbagai strategi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat luas di dalam
kegiatan ASEAN sehingga kesan ASEAN sebagai organisasi elitis dapat dikurangi.
Yang juga penting untuk dicatat adalah kesepakatan untuk meningkatkan kerja
sama ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim, yang merupakan
perubahan sikap ASEAN tentang kerja sama multilateral di bidang ini. Meskipun
kihwa ASEAN tidak bermaksud untuk membangun Pertahanan, tampaknya ASEAN tidak
lagi menabukan kerja., sama pertahanan di lingkup ASEAN. Rencana untuk
melibatkan ASEAN dalam "Post-Conflict
Peace Building" juga menunjukkan keinginan untuk melibatkan ASEAN
secara lebih jauh dalam penyelesaian konflik, baik antar anggota maupun (dan
ini mungkin akan lebih sering terjadi) dalam menangani konflik yang terjadi di
dalam salah satu negara anggota.
Situasi terakhir di Myanmar di mana telah terjadi
demonstrasi besar-besaran para Bhiksu di akhir September dan awal Oktober 2007
menentang rezim militer yang telah berkuasa dengan tangan besi sejak awal
1960-an merupakan ujian nyata bagi ASEAN, khususnya ideal ASC. ASEAN telah
mulai melangkah cukup jauh dari ASEAN Way yang sama sekali menolak melakukan
intervensi terhadap urusan dalam negeri sesama anggota, karena dalam beberapa
tahun terakhir ASEAN menyatakan tidak lagi akan melindungi Myanmar dari kecaman
pihak ketiga karena pemimpin militer Myanmar dinilai telah menyulitkan posisi
ASEAN dalam berhubungan dengan para Mitra Dialog. Dalam krisis terakhir, yang
ditandai tindakan brutal militer terhadap para demonstran yang menyebabkan
terbunuhnya beberapa demonstran ASEAN, melalui Ketuanya, Perdana Menteri
Singapura, mengirim surat kepada pemimpin junta Myanmar yang secara terbuka
mengecam tindakan represif tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang
terkandung dalam ASC tentang penghormatan terhadap HAM sudah mulai diterapkan
oleh ASEAN. Indonesia yang menjabat sebagai salah satu anggota tidak tetap
Dewan Kcamanan PBB tahun 2007-2008 melakukan abstain ketika n merika Serikat
dan Inggris mengajukan Resolusi mengutuk Myanmar, sementara RRC/China dan Rusia
menentang Resolusi tersebut. Meskipun banyak pihak mengkritik Indonesia yang
abstain dan tidak mendukung resolusi wengecam Myanmar, termasuk beberapa
kalangan di dalam nrgcri Indonesia sendiri, sikap abstain Indonesia secara
Clikup jelas menunjukkan bahwa Indonesia tidak bersedia 1nclindungi pemerintah
Myanmar yang dinilai telah meI,ikukan kejahatan kemanusiaan. Namun sebagai
sesama negara ASEAN Indonesia masih menunjukkan solidaritas dan keinginan untuk
tidak mengisolasi Viyanmar sehingga Indonesia tidak mendukung resolusi
tersebut.
Penandatanganan Piagam ASEAN dalam KTT ke-13 ASEAN di
Singapura pada 20 November 2007 merupakan tiuatu lompatan besar yang baru bagi
ASEAN namun sek;iligus juga mengecewakan banyak pihak. Dengan di
tandatanganinya Piagam ASEAN, maka asosiasi regional yang dulu longgar ini akan
memasuki babak baru sebagai organisasi regional yang memiliki landasan hukum
yang lebih mengikat. Berkaitan dengan fokus kajian ini, apakah ASEAN telah
bergeser dari "state-oriented"
menuju "peoplenricnted"
dengan keberadaan Piagam ASEAN, jawabannya tidaklah terlalu jelas. Di satu
pihak Piagam ASEAN berkomitmen "untuk memperkuat demokrasi, memajukan pejnerintahan
dan sistem hukum yang bersih, mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia", yang memberikan landasan hukum yang kuat untuk
kebijakan-kebijakan yang lebih pro-rakyat dan pro-keamanan insani. Piagam ASEAN
juga mengangkat salah satu agenda ASC untuk membentuk komisi HAM regional
sebagai alat penting untuk memajukan HAM di kawasan ini.
Di lain pihak, Piagam ASEAN juga secara eksplisit
menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip "suci" ASEAN seperti
tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, pembuatan kebijakan
berdasarkan konsensus dan penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara
anggota. Usul Eminent Persons Group (EPG) yang menyusun draft Piagam, agar
pihak-pihak yang melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ASEAN dijatuhi
sanksi, misalnya keanggotaannya dibekukan sementara, dikeluarkan dari
kesepakatan akhir. Piagam hanya menyatakan bahwa dalam hal tidak ada konsensus,
atau ada pelanggaran terhadap nilai-nilai ASEAN oleh salah satu anggota yang
perlu disikapi, keputusan akhir diserahkan kepada para pemimpin tertinggi dalam
KIT ASEAN. Dengan mengembalikan keputusan-keputusan genting kepada para
pemimpin ASEAN, yang masing-masing nota bene memiliki hak veto, maka dapat
diduga bahwa apabila terjadi konflik kepentingan antara suatu rezim
pemerintahan dan masyarakatnya, maka kepentingan penguasa yang memonopoli
kebijakan tetap akan didahulukan. Meskipun Sekretariat Jenderal ASEAN akan
diperkuat ASEAN juga akan tetap merupakan organisasi
"intergovernmental" bukan "supranasional". Dengan demikian,
meskipun setelah Piagam ASEAN diberlakukan dan Komunitas ASEAN diraih, ASEAN
tetap tidak akan memiliki kekuatan supranasional yang relatif otonom, yang
dapat mengeluarkan keputusan yang harus diikuti oleh setiap anggotanya.
Tunduknya ASEAN pada kehendak Myanmar yang menolak presentasi utusan PBB untuk
Myanmar, Ibrahim Gambari, dalam sidang ASEAN meskipun yang bersangkutan telah
diundang khusu oleh tuan rumah untuk melakukan presentasi tersebut merupakan
indikasi kesulitan yang sedang dan akan terus dihadapi ASEAN dalam
merekomendasikan antara ideal dan realitas lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
dan Artikel
Acharya, Amitav and See Seng Tan,
"Betwixt balance and community: America, ASEAN, and the security of
Southeast Asia," International
Relations, of the Asia-Pacific, Vol. 5, 23 Agustus, 2005.
,
"Collective identity and conflict management in Southeast Asia,"
dalam Emmanuel Adler and Michael Barnett, Security
Communities, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
,
The Association of Southeast Asian Nations: 'Security Community' or 'Defence
Community'?, Pacific Affairs, Vol. 64,
No. 2, Summer, 1991.
, Constructing a Security Community in Southeast Asia:
ASEAN and the Problem of Regional Order London:
Routledge, 2001.
,
Regionalism and Multilateralism: Essays on
Cooperative Security in the Asia-Pacific Singapore: Times Media
Private Ltd., 2003.
Alatas, Ali,"Piagam ASEAN sebagai
Landasan Hukum dan Norma Kerja sama ASEAN", Seminar Nasional Dalam rangka Hari ASEAN ke-39, Deplu,
Jakarta, 2006.
"An ASEAN, of The People, by The
People, for the People", Report of
the First ASEAN People's Assembly, ASEANISIS-CSIS, Batam, Indonesia, 24-26 November 2000
Anwar, Dewi Fortuna, "Kerja sama
Politik dan Keamanan ASEAN", dalam C.P.F. Luhulima et.al., Seperempat Abad
ASEAN, Sekretariat Nasional ASEAN, Departmen Luar Negeri RI, Jakarta, 1994.
ASEAN Security
Community Plan of Action, I. Political Development,
Vientianne, 29 November 2004.
Deutsch, Karl, et.al., Political Community and the North Atlantic Area.
International Organization in the Light of PoliticalExperience, Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1957.
Djalal, Hasyim,"Politik Luar Negeri
Indonesia Dalam Dasawarsa 1990", CSIS, Jakarta, 1990.
Emmerson, Donald K., "Security,
Community, and Democracy in Southeast Asia: Analyzing ASEAN", Japanese Journal of Political Science. 6
(2).
Ferguson, R. James, "ASEAN Concord
II: Policy Prospects for Participant Regional "Development", Contemporary Southeast Asia: A Journal of
International and Strategic Affairs, Vol. 26, no. 3, 2004.
Gusfield, J.R., The community: A critical Response, New
York: Harper Colopon, 1975.
Keliat, Makmur,"Pembangunan
Komunitas ASEAN", Kompas, 1 Desember
2004. Lihat juga, Emanuel Adler dan Michael Barnett, 1998.
Khoo, Nicholas, "Deconstructing the
ASEAN security community: a review essay," International Relations of the Asia Pacific, vol. 4, 2004.
Luhulima, C.P.F., Scope of ASEAN's
Security Framework for the 21st Century, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
,
ASEAN Menuju Postur Baru, CSIS, Jakarta,
1997.
Marzali,Amri, Seminar Membangun
Komunitas ASEAN yang berpusatkan pada Masyarakat, Deplu-RI, 10 Agustus 2006.
Morgenthau, Hans, Politics Among Nations: The Struggle for Power and
Peace, Fifth Edition, Revised, New York: Alfred A. Knopf, 1978.
Nathan, Laurie, "Domestic
Instability and Security Communities", European Journal of International Relations, Vol. 12, No. 2.
2006.
Peou, Serpong,
"Merit in security community studies," International Relations of the Asia-Pacific, vol. 5, 2005.
Perwita, Anak Agung
Banyu, "ASEAN yang Lebih Merakyat", Kompas 26
Juli 2007.
Plummer, Michael G.,
"Creating an ASEAN Economic Community: Lessons from the EU and Reflections
on the Roadmap", dalam Roadmap
to ASEAN Economic Community, diedit
oleh Denis Hew, Singapore: ISEAS,
2005.
Puchala, Donald J., International Politics Today, New York: Dodd, Mead, 1971.
Rifkin,
Jeremy," The European Dream", Jeremy P Tarcher, New York, 2004.
Russett, Bruce,
"A neo-Kantian perspective: democracy, interdependence and international,
organizations in building security communities," dalam Adler and Barnett,
Security
Communities, Cambridge:
Cambridge University Press, 1998.
Sukma, Rizal,
"The Future of ASEAN: Towards a Security Community". Paper presented
at a seminar on "ASEAN Cooperation: Challenges and prospects in the
Current International Situation", New York, 3 Juni 2003.
Surat
Kabar:
Bali
Post, 9 Oktober 2003.
Jakarta
Post, 13 Januari 2007.
Jakarta
Post, 17 Januari 2007.
Jakarta
Post, 21 Februari 2007
Jakarta
Post, 24 Agustus 2006.
Jakarta
Post, 27 Agustus 2007.
Kompas,
26 Juli 2007.
Kompas,
10 Agustus 2007.
Kompas,
30 Agustus 2006
Kompas
25 November 2005.
Kompas,
9 Desember 2006. Straits Times, 5 Desember 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)